Pengunjung

bumerang emansipasi

Diposkan oleh Unknown On 13.19

WANITA AMERIKA : BUMERANG EMANSIPASI
 
               Amerika adalah tempat lahirnya Gerakan Pembebasan Wanita atau Women Liberation Movement (Women+s Lib). Sampai saat ini wanita-wanita Amerikalah 
yang bersuara paling nyaring dalam memperjuangkan persamaan hak wanita. 
Suatu hal yang tidak mengherankan jika kita melihat bagaimana buruknya 
kondisi wanita Amerika sampai awal abad ke-20. Pada saat itu wanita Amerika 
dianggap sebagai warga kelas dua yang tidak boleh mengikuti pemilihan umum. 
Dalam hukum perkawinan, wanita tidak berhak menguasai harta miliknya 
sendiri, sekalipun dia dapatkan dari bekerja. Harta itu tetap menjadi milik 
suaminya. Begitu pula dalam bidang pendidikan, kaum wanita menemui banyak 
hambatan untuk mendapatkan pendidikan yang sejajar dengan pria. Ibarat api 
dalam sekam, ketimpangan ini akhirnya melahirkan pemberontakan wanita 
Amerika, dengan munculnya liberalisme yang menggugat tatanan masyarakat 
saat itu.
               Feminisme liberal berusaha menyadarkan wanita bahwa mereka tertindas. 
Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai 
hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi subordinat. 
Budaya masyarakat Amerika yang materialis dan individualis, menjadi media 
kultur yang sesuai bagi propaganda mereka. Para wanita kemudian tergiring 
keluar rumah, bersaing dalam karir dengan pria dan enggan menampakkan 
ketergantungan pada pria.
               Namun ternyata keberhasilan feminisme adalah keberhasilan yang semu 
belaka. Tidak seperti yang diharapkan, walaupun jumlah wanita yang bekerja 
di luar rumah semakin banyak, namun kondisi ekonomi mereka tidak banyak 
berubah. Dua dari tiga orang dewasa yang miskin di Amerika adalah wanita. 
Tingkat upah pun menunjukkan gambaran serupa. Data tahun 1985 menunjukkan 
tingkat upah rata-rata wanita di AS adalah 64% tingkat upah pria; kondisi 
ini serupa dengan pada tahun 1939.
               Yang lebih menyedihkan adalah bahwa emansipasi yang mereka perjuangkan 
justru memunculkan permasalahan baru bagi wanita. Salah satu yang paling 
nampak adalah tingginya angka perceraian. Di AS angka perceraian meningkat 
dengan tajam sejak tahun 1960-an. Tahun 1980 jumlah anak yang dibesarkan 
oleh kepala keluarga wanita telah mencapai 50 %. Perceraian dengan beban 
pengasuhan anak-anak menyebabkan kondisi yang menyedihkan pada banyak 
wanita. Majalah Fortune melaporkan bahwa penyebab utama perceraian maupun 
gangguan hubungan sosial dalam keluarga adalah stress yang dialami para 
wanita eksekutif. Mereka yang berpacu dalam dunia materi tanpa mengenal 
hakikat halal haram dan penuh dengan penipuan, banyak dirundung kekecewaan, 
kekhawatiran, ketidakpuasan yang akhirnya mengganggu pelaksanaan tanggung 
jawab mereka dalam keluarga.
               Sementara itu kriminalitas terhadap wanita di Amerika juga meningkat. 
Kekerasan fisik dialami wanita setiap 8 detik. Rata-rata seorang wanita 
diperkosa setiap 6 menit (termasuk kasus date-rapes). Kenyataan ini tidak 
bisa dipisahkan dari propaganda feminis yang menuntut kebebasan utuh dan 
sejajar dengan pria yang membawa kecenderungan pergaulan bebas dan 
keengganan menikah.
               Kita bukan akan memperbincangkan  hukum wanita bekerja dan keluar rumah 
menurut kacamata Islam. Kita hanya akan meninjau hakikat pembebasan wanita 
yang propagandanya begitu menyilaukan wanita sedunia, termasuk wanita 
muslim. Jika kita teliti merunut realitas wanita Amerika, akan nampak nyata 
bahwa apa yang mereka gembar-gemborkan sebagai pembebasan wanita tidak lain 
hanyalah proses menjadikan wanita sebagai budak kapitalisme. Sebagai hasil 
pembebasan wanita kita menyaksikan berbagai cabang industri lahir dengan 
wanita sebagai komoditi atau pasar potensial. Industri fashion, kosmetik 
dan produk diet berkembang pesat dengan permintaan yang besar dari para 
wanita karir. Karena para ibu menjadi sangat sibuk di luar rumah, mereka 
memerlukan toys, games atau Day Care Centers untuk mengasuh anak-anak. Para 
ibu bekerja juga memerlukan alternatif fast food atau ready to serve 
products. Belum lagi kita tengok  wanita yang menjadi komoditi perdagangan, 
dalam bisnis seks ataupun bisnis lain yang mengeksploitasi kewanitaan, baik 
iklan, film, maupun bidang jasa.
               Tidak diragukan lagi ide pembebasan wanita yang lahir di Amerika bukanlah 
perjuangan yang menghasilkan penghormatan terhadap martabat wanita , karena 
itu tidak layak dianut oleh muslim. Yang menjajah wanita bukanlah pria, 
melainkan peraturan yang direka-reka sendiri oleh manusia, yang pada 
akhirnya bertentangan dengan kemanusiaan manusia ! (nim)
 
Rujukan :
1. Fortune, 2 September 1995
2. Kompas, 4 September 1995
3. Ir. Ratna Megawangi, MS. Feminisme dan Perkembangannya. Makalah Seminar 
BKIM-IPB, 1994
4. Republika, 24 September 1995
5. Republika, 21 April 1998


Perempuan (1/4)



Sejarah menginformasikan  bahwa  sebelum  turunnya  Al-Quran
terdapat  sekian  banyak  peradaban  besar,  seperti Yunani,
Romawi. India, dan Cina.  Dunia  juga  mengenal  agama-agama
seperti Yahudi, Nasrani, Buddha, Zoroaster, dan sebagainya.
 
Masyarakat  Yunani  yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran
filsafatnya, tidak banyak  membicarakan  hak  dan  kewajiban
wanita.  Di kalangan elite mereka, wanita-wanita ditempatkan
(disekap) dalam istana-istana. Dan di kalangan bawah,  nasib
wanita    sangat   menyedihkan.   Mereka   diperjualbelikan,
sedangkan yang berumah tangga  sepenuhnya  berada  di  bawah
kekuasaan  suaminya.  Mereka  tidak  memiliki hak-hak sipil,
bahkan hak  waris  pun  tidak  ada.  Pada  puncak  peradaban
Yunani,   wanita  diberi  kebebasan  sedemikian  rupa  untuk
memenuhi kebutuhan dan selera lelaki. Hubungan seksual  yang
bebas  tidak  dianggap  melanggar  kesopanan,  tempat-tempat
pelacuran   menjadi   pusat-pusat   kegiatan   politik   dan
sastra/seni   Patung-patung   telanjang   yang  terlihat  di
negara-negara Barat adalah bukti atau  sisa  pandangan  itu.
Dalam  pandangan  mereka, dewa-dewa melakukan hubungan gelap
dengan rakyat bawahan, dan dari hubungan gelap itu  lahirlah
"Dewi Cinta" yang terkenal dalam peradaban Yunani.
 
Dalam  peradaban  Romawi,  wanita sepenuhnya berada di bawah
kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut  pindah
ke  tangan  sang  suami.  Kekuasaan  ini mencakup kewenangan
menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh Keadaan tersebut
berlangsung  terus  sampai  abad  ke-6  Masehi. Segala hasil
usaha wanita, menjadi hak milik keluarganya yang  laki-laki.
Pada  zaman  Kaisar  Constantine  terjadi  sedikit perubahan
yaitu dengan  diundangkannya  hak  pemilikan  terbatas  bagi
wanita,   dengan   catatan   bahwa  setiap  transaksi  harus
disetujui oleh keluarga (suami atau ayah).
 
Peradaban   Hindu   dan   Cina   tidak   lebih   baik   dari
peradabanperadaban  Yunani  dan  Romawi.  Hak  hidup seorang
wanita yang  bersuami  harus  berakhir  pada  saat  kematian
suaminya;  istri  harus  dibakar hidup-hidup pada saat mayat
suaminya dibakar. Ini baru berakhir pada abad ke-17  Masehi.
Wanita  pada  masyarakat  Hindu  ketika itu sering dijadikan
sesajen bagi  apa  yang  mereka  namakan  dewa-dewa.  Petuah
sejarah  kuno  mereka me ngatakan bahwa "Racun, ular dan api
tidak lebih jahat  daripada  wanita."  Sementara  itu  dalam
petuah Cina kuno diajarkan "Anda boleh mendengar pembicaraan
wanita tetapi sama sekali jangan mempercayai kebenarannya."
 
Dalam ajaran Yahudi, martabat wanita sama  dengan  pembantu.
Ayah  berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai
saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap  wanita  sebagai
sumber  laknat  karena  dialah yang menyebabkan Adam terusir
dari surga.
 
Dalam pandangan sementara pemuka/pengamat Nasrani  ditemukan
bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk menyesatkan manusia.
Pada abad ke-5 Masehi  diselenggarakan  suatu  konsili  yang
memperbincangkan  apakah  wanita  mempunyai ruh atalu tidak,
Akhirnya terdapat kesimpulan bahwa  wanita  tidak  mempunyai
ruh yang suci. Bahkan pada abad ke-6 Masehi disselenggarakan
suatu pertemuan untuk membahas apakah  wanita  manusia  atau
bukan  manusia. Dari pembahasan itu disimpulkan bahwa wanita
adalah manusia yang diciptakan  semata-mata  untuk  melayani
laki-laki.  Sepanjang  abad  pertengahan, nasib wanita tetap
sangat   memprihatinkan,   bahkan    sampai    tahun    1805
perundang-undangan  Inggris mengakui hak suami untuk menjual
istrinya, dan sampai tahun 1882 wanita  Inggris  belum  lagi
memiliki  hak  pemilikan  harta  benda secara penuh, dan hak
menuntut ke pengadilan.
 
Ketika Elizabeth Blackwill - yang  merupakan  dokter  wanita
pertama   di   dunia  -  menyelesaikan  studinya  di  Geneve
University pada tahun 1849,  teman-temannya  yang  bertempat
tinggal  dengannya  memboikotnya  dengan  dalih bahwa wanita
tidak wajar memperoleh pelajaran,  Bahkan  ketika  sementara
dokter bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk wanita
di Philadelphia, Amerika  Serikat,  Ikatan  Dokter  setempat
mengancam   untuk   memboikot  semua  dokter  yang  bersedia
mengajar di  sana.
 
Demikian  selayang   pandang   kedudukan   wanita   sebelum,
menjelang,  dan sesudah kehadiran Al-Quran. Nah, situasi dan
pandangan  yang  demikian  tentunya  tidak  sejalan   dengan
petunjuk-petunjuk Al-Quran. Disisi lain, sedikit atau banyak
pandangan demikian mempengaruhi  pemahaman  sementara  pakar
terhadap redaksi petunjuk-petunjuk Al-Quran sebagaimana akan
disinggung berikut ini.
 
ASAL KEJADIAN PEREMPUAN
 
Berbicara mengenai kedudukan wanita, mengantarkan kita  agar
terlebih  dahulu mendudukkan pandangan Al-Quran tentang asal
kejadian perempuan. Dalam hal  ini,  salah  satu  ayat  yang
dapat  diangkat  adalah  firman Allah dalam surat Al-Hujurat
ayat 13,
 
"Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah  menciptakan
kamu  (terdiri)  dan  lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa  dan  bersuku-suku  agar  kamu  saling
mengenal.  Sesungguhnya  yang  paling  mulia  di antara kamu
adalah yang paling bertakwa."
 
Ayat ini berbicara  tentang  asal  kejadian  manusia  -  dan
seorang  lelaki  dan perempuan - sekaligus berbicara tentang
kemuliaan manusia - baik  lelaki  maupun  perempuan  -  yang
dasar   kemuliaannya   bukan  keturunan,  suku,  atau  jenis
kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah Swt.  Memang,  secara
tegas   dapat  dikatakan  bahwa  perempuan  dalam  pandangan
Al-Quran mempunyai kedudukan terhormat.
 
Dalam hal ini Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, menulis
dalam bukunya Min Tawjihat Al-Islam bahwa,
 
"Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat
(dikatakan)  sama.  Allah   telah   menganugerahkan   kepada
perempuan-   sebagaimana  menganugerahkan  kepada  lelaki  -
potensi dan kemampuan  yang  cukup  untuk  memikul  tanggung
jawab,   dan   menjadikan  kedua  jenis  kelamin  ini  dapat
melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat  umum  maupun
khusus.  Karena  itu,  hukum-hukum  syariat  pun  meletakkan
keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual  dan
membeli,  mengawinkan  dan  kawin,  melanggar  dan  dihukum,
menuntut dan menyaksikan,  dan  yang  itu  (perempuan)  juga
demikian,  dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin,
melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan."
 
Ayat  Al-Quran  yang   populer   dijadikan   rujukan   dalam
pembicaraan  tentang  asal  kejadian perempuan adalah firman
Allah dalam surat An-Nisa, ayat 1:
 
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan  kamu  dari  nafs  yang satu (sama), dan darinya
Allah  menciptakan  pasangannya,  dan  dari  keduanya  Allah
memperkembang-biakkan lelaki dan perempuan yang banyak."
 
Banyak  sekali  pakar  tafsir yang memahami kata nafs dengan
Adam, seperti misalnya Jalaluddin As-Suyuthi,  Ibnu  Katsir,
Al-Qurthubi,  Al-Biqa'i, Abu As-Su'ud, dan lain-lain. Bahkan
At-Tabarsi, salah  seorang  ulama  tafsir  bermazhab  Syi'ah
(abad  ke-6  H)  mengemukakan  dalam tafsirnya bahwa seluruh
ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam.
 
Beberapa pakar tafsir seperti Muhammad 'Abduh, dalam  tafsir
Al-Manar,  tidak  berpendapat demikian; begitu juga rekannya
Al-Qasimi, Mereka memahami arti  nafs  dalam  arti  "jenis."
Namun  demikian,  paling  tidak  pendapat  yang  dikemukakan
pertama itu, seperti yang ditulis  Tim  Penerjemah  Al-Quran
yang  diterbitkan  oleh  Departemen  Agama.  adalah pendapat
mayoritas ulama.
 
Dari pandangan yang  berpendapat  bahwa  nafs  adalah  Adam,
dipahami  pula  bahwa  kata  zaujaha,  yang  arti harfiahnya
adalah "pasangannya," mengacu kepada istri Adam, yaitu Hawa.
 
Agaknya  karena  ayat  diatas  menerangkan  bahwa   pasangan
tersebut  diciptakan  dari  nafs  yang  berarti  Adam,  para
penafsir terdahulu memahami  bahwa  istri  Adam  (perempuan)
diciptakan   dari  Adam  sendiri.  Pandangan  ini,  kemudian
melahirkan  pandangan  negatif  terhadap  perempuan,  dengan
menyatakan  bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Tanpa
lelaki, perempuan tidak  akan  ada.  Al-Qurthubi,  misalnya,
menekankan bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk
Adam sebelah kiri  yang  bengkok,  dan  karena  itu  "wanita
bersifat 'auja' (bengkok atau tidak lurus)."
 
Kitab-kitab  tafsir  terdahulu hampir sepakat mengartikannya
demikian- Pandangan ini agaknya bersumber dari sebuah  hadis
yang menyatakan:
 
"Saling   pesan-memesanlah   untuk   berbuat   baik   kepada
perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang  rusuk  yang
bengkok... (HR At-Tirmidzi dari Abu Hurairah).
 
Hadis  diatas  dipahami  oleh  ulama-ulama  terdahulu secara
harfiah. Namun tidak sedikit ulama  kontemporer  memahaminya
secara   metafora,   bahkan   ada   yang  menolak  kesahihan
(kebenaran) hadis tersebut.
 
Yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadis diatas
memperingatkan  para lelaki agar menghadapi perempuan dengan
bijaksana, karena ada  sifat,  karakter,  dan  kecenderungan
mereka  yang  tidak sama dengan lelaki - hal mana bila tidak
disadari akan dapat mengantarkan kaum lelaki bersikap  tidak
wajar.  Mereka  tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat
bawaan perempuan, kalaupun mereka  berusaha  akibatnya  akan
fatal,  sebagaimana  fatalnya  meluruskan  tulang rusuk yang
bengkok.
 
Ath-Thabathaba'i dalam tafsirnya menulis, bahwa ayat  diatas
menegaskan  bahwa  "perempuan  (istri  Adam) diciptakan dari
jenis yang sama dengan Adam, dan ayat tersebut  sedikit  pun
tidak  mendukung  paham  sementara  mufasir yang beranggapan
bahwa perempuan diciptakan  dari  tulung  rusuk  Adam.  Kita
dapat berkata, bahwa tidak ada satu petunjuk yang pasti dari
ayat Al-Quran yang dapat mengantarkan kita untuk  menyatakan
bahwa  perempuan  diciptakan  dari  tulang rusuk, atau bahwa
unsur penciptaannya berbeda dengan lelaki. Ide ini,  seperti
ditulis  Rasyid  Ridha dalam Tafsir Al-Manar-nya, timbul dan
ide yang  termaktub  dalam  Perjanjian  Lama  (Kejadian  II:
21-22)  yang  menyatakan bahwa ketika Adam tidur lelap, maka
diambil   oleh   Allah   sebilah   tulang   rusuknya,   lalu
ditutupkannya  pula  tempat  itu  dengan  daging.  Maka dari
tulang yang telah dikeluarkan dan  Adam  itu,  dibuat  Tuhan
seorang perempuan.
 
"Seandainya  tidak  tercantum  kisah  kejadian Adam dan Hawa
dalam Kitab Perjanjian Lama seperti redaksi diatas,  niscaya
pendapat yang menyatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang
rusuk Adam tidak pernah akan terlintas dalam  benak  seorang
Muslim," demikian Rasyid Ridha- (Tafsir Al-Manar IV: 330)
 
Bahkan kita dapat berkata bahwa sekian banyak teks keagamaan
mendukung pendapat yang menekankan persamaan unsur  kejadian
Adam dan Hawa, dan persamaan kedudukannya, antara lain surat
Al-Isra' ayat 70,
 
"Sesungguhnya Kami telah  memuliakan  anak-anak  Adam,  Kami
angkut  mereka  di  daratan  dan di lautan (untuk memudahkan
mereka mencari kehidupan).  Kami  beri  mereka  rezeki  yang
baik-baik,  dan  Kami  lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempuma atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan."
 
Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan,
Demikian  pula  penghorrnatan  Tuhan  yang diberikan-Nya itu
mencakup anak-anak Adam seluruhnya,  baik  perempuan  maupun
lelaki.  Pemahaman  ini dipertegas oleh surat Ali-Imran ayat
195 yang menyatakan,
 
"Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain ..."
 
Ini dalam arti bahwa sebagian kamu (hai  umat  manusia  yang
berjenis  lelaki)  berasal dari pertemuan ovum perempuan dan
sperma lelaki dan sebagian yang lain (hai umat manusia  yang
berjenis   perempuan)  demikian  juga  halnya.  Kedua  jenis
kelamin ini  sama-sama  manusia,  dan  tidak  ada  perbedaan
diantara    mereka    dari    segi   asal   kejadian   serta
kemanusiaannya.
                                            (bersambung 2/4)



WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

HAK DAN KEWAJIBAN BELAJAR
 
Amat banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang berbicara
tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan
kepada lelaki maupun perempuan, di antaranya,
 
"Menuntut  ilmu  adalah   kewajiban   setiap   Muslim   (dan
Muslimah)" (HR Al-Thabarani melalui Ibnu Mas'ud)
 
Para  perempuan di zaman Nabi Saw. menyadari benar kewajiban
ini,  sehingga  mereka  memohon  kepada  Nabi  agar   beliau
bersedia  menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka
agar dapat menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan  ini  tentu
saja dikabulkan oleh Nabi Muhammad Saw.
 
Al-Quran  memberikan pujian kepada ulul albab, yang berzikir
dan memikirkan kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran
menyangkut  hal  tersebut  mengantarkan  manusia  mengetahui
rahasia-rahasia alam raya. Mereka yang  dinamai  ulul  albab
tidak  terbatas  pada  kaum lelaki saja, melainkan juga kaum
perempuan. Hal ini terbukti dari lanjutan ayat di atas, yang
menguraikan   tentang   sifat-sifat   ulul  albab,  Al-Quran
menegaskan bahwa:
 
"Maka Tuhan  mereka  mengabulkan  permohonan  mereka  dengan
berfirman,  "Sesunggahnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki  maupun
perempuan." (QS Ali 'Imran [3]: 195) .
 
Ini   berarti   bahwa   kaum   perempuan   dapat   berpikir,
mempelajari, dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati
setelah  berzikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui
dari alam raya ini.
 
Pengetahuan tentang  alam  raya  tentunya  berkaitan  dengan
berbagai   disiplin  ilmu,  sehingga  dari  ayat  ini  dapat
dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari  apa  saja,
sesuai  dengan  keinginan  dan  kecenderungan masing-masing.
Sejarah membuktikan bahwa banyak wanita yang sangat menonjol
pengetahuannya   dalam  berbagai  bidang  ilmu  pengetahuan,
sehingga menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki.
 
Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah salah seorang yang mempunyai
pengetahuan  sangat  dalam  serta  termasyhur  pula  sebagai
seorang kritikus, sampai-sampai ada ungkapan  terkenal  yang
dinisbahkan  oleh  sementara  ulama  sebagai pernyataan Nabi
Muhammad Saw.:
 
Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari  Al-Humaira,
(yakni Aisyah).
 
Demikian  juga  As-Sayyidah  Sakinah putri Al-Husain bin Ali
bin Abi Thalib. Kemudian, Al-Syaikhah Syuhrah yang  bergelar
"Fakhr Al-Nisa', (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang
guru Imam Syafi'i, tokoh mazhab yang  pandangan-pandangannya
menjadi anutan banyak umat Islam di seluruh dunia. Dan masih
banyak lagi yang lainnya.
 
Beberapa wanita lain mempunyai kedudukan ilmiah yang  sangat
terhormat, misalnya Al-Khansa' dan Rabi'ah Al-Adawiyah.
 
Rasulullah  Saw.  tidak  membatasi  kewajiban  belajar hanya
kepada perempuan-perempuan  merdeka  (yang  memiliki  status
sosial  tinggi),  tetapi  juga  para budak belian dan mereka
yang bersatus sosial rendah.  Karena  itu  sejarah  mencatat
sekian  banyak  perempuan yang tadinya budak belian kemudian
mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
 
Al-Muqari dalam bukunya Nafhu Ath-Thib, sebagaimana  dikutip
oleh   Dr.   Abdul   Wahid  Wafi,  memberitakan  bahwa  Ibnu
Al-Mutharraf, seorang  pakar  bahasa  pada  masanya,  pernah
mengajarkan   seorang   perempuan   liku-liku  bahasa  Arab.
Sehingga sang wanita pada akhirnya memiliki  kemampuan  yang
melebihi  gurunya  sendiri,  khususnya  dalam  bidang puisi,
sampai  ia  dikenal   dengan   nama   Al-'Arudhiyat   karena
keahliannya dalam bidang ini.
 
Harus  diakui  hahwa  pembidangan  ilmu pada masa awal Islam
belum sebanyak dan seluas sekarang ini.  Namun  Islam  tidak
membedakan  satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya,
sehingga seandainya mereka  yang  disebut  namanya  di  atas
hidup  pada masa kini, tidak mustahil mereka akan tekun pula
mempelajari disiplin-disiplin ilmu  yang  berkembang  dewasa
ini.
 
Dalam hal ini Syaikh Muhammad Abduh menulis:
 
Kalaulah  kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum akidah
kelihatannya amat terbatas,  sesungguhnya  kewajiban  mereka
untuk   mempelajari  hal-hal  yang  berkaitan  dengan  rumah
tcelgga,  pendidikan   anak,   dan   sebagainya,   merupakan
persoalan-persoalan  duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan
perbedaan waktu, tempat,  dan  kondisi)  jauh  lebih  banyak
daripada soal-soal akidah atau keagamaan.
 
Demikianlah  sekilas  menyangkut hak dan kewajiban perempuan
dalam bidang  pendidikan.  Kalau  demikian  halnya,  mengapa
timbul pandangan yang membatasi wanita untuk belajar? Sekali
lagi,  salah  satu  penyebabnya  adalah  ayat   waqarna   fi
buyutikunna yang dikemukakan di atas.
 
PERANAN ISTRI DALAM RUMAH TANGGA
 
Berbicara mengenai hal ini, ayat Ar-rijalu  qawammuna  'alan
nisa'  biasanya dijadikan sebagai salah satu rujukan, karena
ayat  tersebut  berbicara  tentang  pembagian  kerja  antara
suami-istri.  Memahami pesan ayat ini, mengundang kita untuk
menggarisbawahi  terlebih  dahulu  dua  butir  prinsip  yang
melandasi hak dan kewajiban suami-istri:
 
1. Terdapat perbedaan antara pria dan wanita, bukan hanya
   pada bentuk fisik mereka, tetapi juga dalam bidang psikis.
   Bahkan menurut Dr. Alexis Carrel salah seorang dokter yang
   pernah meraih dua kali hadiah Nobel -perbedaan tersebut
   berkaitan juga dengan kelenjar dan darah masing-masing
   kelamin.
 
   Pembagian harta, hak, dan kewajiban yang ditetapkan agama
   terhadap kedua jenis manusia itu didasarkan oleh
   perbedaan-perbedaan itu.
 
2. Pola pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak
   menjadikan salah satu pihak bebas dan tuntutan - minimal
   dari segi moral - untuk membantu pasangannya.
 
Dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan,
 
 
"Bagi lelaki (suami)  terhadap  mereka  (wanita/istri)  satu
derajat (lebih tinggi)."
 
Derajat  lebih  tinggi  yang  dimaksud  dalam  ayat  di atas
dijelaskan oleh surat  An-Nisa'  ayat  34,  yang  menyatakan
bahwa  "lelaki  (suami)  adalah  pemimpin terhadap perempuan
(istri)."
 
Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan  hal  yang  mutlak,
lebih-lebih  bagi  setiap  keluarga,  karena  mereka  selalu
bersama,  serta  merasa  memiliki  pasangan  dan   keluarga,
Persoalan  yang dihadapi suami-istri, muncul dari sikap jiwa
manusia  yang  tercermin  dari  keceriaan  atau  cemberutnya
wajah.  Sehingga  persesuaian  dan perselisihan dapat muncul
seketika, tetapi boleh juga sirna seketika dan  dimana  pun.
Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin yang
melebihi kebutuhan suatu perusahaan  yang  sekadar  bergelut
dengan  angka,  dan  bukannya  dengan perasaaan serta diikat
oleh perjanjian yang bisa diselesaikan melalui pengadilan.
 
Hak kepemimpinan menurut Al-Quran seperti yang dikutip  dari
ayat  di  atas,  dibebankan  kepada  suami.  Pembebanan  itu
disebabkan oleh dua hal, yaitu:
 
a. Adanva sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih
   dapat menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika
   dibandingkan dengan istri.
   
b. Adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota
   keluarganya.
 
Ibnu Hazm - seorang ahli hukum  Islam  -  berpendapat  bahwa
wanita pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suami dalam
hal menyediakan makanan, menjahit,  dan  sebagainya.  Justru
sang suamilah yang berkewajiban menyiapkan pakaian jadi, dan
makanan yang siap dimakan untuk istri dan anak-anaknya.
 
Walaupun diakui dalam kenyataan  terdapat  istri-istri  yang
memiliki  kemampuan  berpikir  dan materi melebihi kemampuan
suami, tetapi semua itu merupakan  kasus  yang  tidak  dapat
dijadikan  dasar untuk menetapkan suatu kaidah yang bersifat
umum
 
Sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa  pembagian  kerja  ini
tidak membebaskan masing-masing pasangan - paling tidak dari
segi kewajiban moral - untuk membantu pasangannya dalam  hal
yang berkaitan dengan kewajiban masing-masing. Dalam hal ini
Abu Tsaur, seorang  pakar  hukum  Islam,  berpendapat  bahwa
seorang  istri hendaknya membantu suaminya dalam segala hal.
Salah satu alasan yang  dikemukakannya  adalah  bahwa  Asma,
putri  Khalifah Abu Bakar, menjelaskan bahwasanya ia dibantu
oleh suaminya dalam mengurus rumah tangga, tetapi Asma, juga
membantu   suaminya   antara   lain  dalam  memelihara  kuda
suaminya, menyabit  rumput,  menanam  benih  di  kebun,  dan
sebagainya.
 
Tentu  saja  di  balik  kewajiban suami tersebut, suami juga
mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh  istrinya.  Suami
wajib  ditaati selama tidak bertentangan dengan ajaran agama
dan hak pribadi sang  istri.  Sedemikian  penting  kewajiban
ini, sampai-sampai Rasulullah Saw. bersabda, "Seandainya aku
memerintahkan  seseorang  untuk  sujud   kepada   seseorang,
niscaya  akan  kuperintahkan  para  istri untuk sujud kepada
suaminya." Bahkan Islam juga melarang seorang istri berpuasa
sunnah  tanpa  seizin  suaminya.  Hal  ini disebabkan karena
seorang  suami   mempunyai   hak   untuk   memenuhi   naluri
seksualnya.
 
Dapat  ditambahkan  bahwa  Rasulullah  Saw. menegaskan bahwa
seorang istri memimpin rumah tangga  dan  bertanggung  Jawab
atas keuangan suaminya. Pertanggungjawaban tersebut terlihat
dalam tugas-tugas yang  harus  dipenuhi,  serta  peran  yang
diembannya  saat  memelihara  rumah  tangga,  baik dari segi
kebersihan, keserasian tata ruang, pengaturan menu  makanan,
maupun  pada  keseimbangan  anggaran.  Bahkan pun istri ikut
bertanggung  jawab  -  bersama  suami  -  untuk  menciptakan
ketenangan  bagi  seluruh  anggota keluarga, misalnya, untuk
tidak menerima tamu pria atau wanita  yang  tidak  disenangi
oleh  sang  suami.  Pada  tugas-tugas  rumah  tangga  inilah
Rasulullah Saw. membenarkan seorang istri  melayani  bersama
suaminya tamu pria yang mengunjungi rumahnya.
 
Pada  konteks  inilah  perintah Al-Quran harus dipahami agar
para istri berada di rumah.
 
Firman Allah waqarna fi buyutikunna  (Dan  tetaplah  tinggal
berdiam  di  rumah  kalian)  dalam  surat  Al-Ahzab ayat 33,
menurut kalimatnya ditujukan untuk istri-istri Nabi  kendati
dapat  dipahami  sebagai  acuan  kepada  semua wanita. Namun
tidak berarti bahwa wanita  harus  terus-menerus  berada  di
rumah    dan    tidak    diperkenalkan   keluar,   melainkan
mengisyaratkan bahwa tugas pokok  yang  harus  diemban  oleh
seorang istri adalah memelihara rumah tangganya.

0 Response to "bumerang emansipasi"

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Hostgator Coupon Code