WANITA AMERIKA : BUMERANG EMANSIPASI
Amerika adalah tempat lahirnya Gerakan Pembebasan Wanita atau Women Liberation Movement (Women+s Lib). Sampai saat ini wanita-wanita Amerikalah
yang bersuara paling nyaring dalam memperjuangkan persamaan hak wanita.
Suatu hal yang tidak mengherankan jika kita melihat bagaimana buruknya
kondisi wanita Amerika sampai awal abad ke-20. Pada saat itu wanita Amerika
dianggap sebagai warga kelas dua yang tidak boleh mengikuti pemilihan umum.
Dalam hukum perkawinan, wanita tidak berhak menguasai harta miliknya
sendiri, sekalipun dia dapatkan dari bekerja. Harta itu tetap menjadi milik
suaminya. Begitu pula dalam bidang pendidikan, kaum wanita menemui banyak
hambatan untuk mendapatkan pendidikan yang sejajar dengan pria. Ibarat api
dalam sekam, ketimpangan ini akhirnya melahirkan pemberontakan wanita
Amerika, dengan munculnya liberalisme yang menggugat tatanan masyarakat
saat itu.
Feminisme liberal berusaha menyadarkan wanita bahwa mereka tertindas.
Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai
hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi subordinat.
Budaya masyarakat Amerika yang materialis dan individualis, menjadi media
kultur yang sesuai bagi propaganda mereka. Para wanita kemudian tergiring
keluar rumah, bersaing dalam karir dengan pria dan enggan menampakkan
ketergantungan pada pria.
Namun ternyata keberhasilan feminisme adalah keberhasilan yang semu
belaka. Tidak seperti yang diharapkan, walaupun jumlah wanita yang bekerja
di luar rumah semakin banyak, namun kondisi ekonomi mereka tidak banyak
berubah. Dua dari tiga orang dewasa yang miskin di Amerika adalah wanita.
Tingkat upah pun menunjukkan gambaran serupa. Data tahun 1985 menunjukkan
tingkat upah rata-rata wanita di AS adalah 64% tingkat upah pria; kondisi
ini serupa dengan pada tahun 1939.
Yang lebih menyedihkan adalah bahwa emansipasi yang mereka perjuangkan
justru memunculkan permasalahan baru bagi wanita. Salah satu yang paling
nampak adalah tingginya angka perceraian. Di AS angka perceraian meningkat
dengan tajam sejak tahun 1960-an. Tahun 1980 jumlah anak yang dibesarkan
oleh kepala keluarga wanita telah mencapai 50 %. Perceraian dengan beban
pengasuhan anak-anak menyebabkan kondisi yang menyedihkan pada banyak
wanita. Majalah Fortune melaporkan bahwa penyebab utama perceraian maupun
gangguan hubungan sosial dalam keluarga adalah stress yang dialami para
wanita eksekutif. Mereka yang berpacu dalam dunia materi tanpa mengenal
hakikat halal haram dan penuh dengan penipuan, banyak dirundung kekecewaan,
kekhawatiran, ketidakpuasan yang akhirnya mengganggu pelaksanaan tanggung
jawab mereka dalam keluarga.
Sementara itu kriminalitas terhadap wanita di Amerika juga meningkat.
Kekerasan fisik dialami wanita setiap 8 detik. Rata-rata seorang wanita
diperkosa setiap 6 menit (termasuk kasus date-rapes). Kenyataan ini tidak
bisa dipisahkan dari propaganda feminis yang menuntut kebebasan utuh dan
sejajar dengan pria yang membawa kecenderungan pergaulan bebas dan
keengganan menikah.
Kita bukan akan memperbincangkan hukum wanita bekerja dan keluar rumah
menurut kacamata Islam. Kita hanya akan meninjau hakikat pembebasan wanita
yang propagandanya begitu menyilaukan wanita sedunia, termasuk wanita
muslim. Jika kita teliti merunut realitas wanita Amerika, akan nampak nyata
bahwa apa yang mereka gembar-gemborkan sebagai pembebasan wanita tidak lain
hanyalah proses menjadikan wanita sebagai budak kapitalisme. Sebagai hasil
pembebasan wanita kita menyaksikan berbagai cabang industri lahir dengan
wanita sebagai komoditi atau pasar potensial. Industri fashion, kosmetik
dan produk diet berkembang pesat dengan permintaan yang besar dari para
wanita karir. Karena para ibu menjadi sangat sibuk di luar rumah, mereka
memerlukan toys, games atau Day Care Centers untuk mengasuh anak-anak. Para
ibu bekerja juga memerlukan alternatif fast food atau ready to serve
products. Belum lagi kita tengok wanita yang menjadi komoditi perdagangan,
dalam bisnis seks ataupun bisnis lain yang mengeksploitasi kewanitaan, baik
iklan, film, maupun bidang jasa.
Tidak diragukan lagi ide pembebasan wanita yang lahir di Amerika bukanlah
perjuangan yang menghasilkan penghormatan terhadap martabat wanita , karena
itu tidak layak dianut oleh muslim. Yang menjajah wanita bukanlah pria,
melainkan peraturan yang direka-reka sendiri oleh manusia, yang pada
akhirnya bertentangan dengan kemanusiaan manusia ! (nim)
Rujukan :
1. Fortune, 2 September 1995
2. Kompas, 4 September 1995
3. Ir. Ratna Megawangi, MS. Feminisme dan Perkembangannya. Makalah Seminar
BKIM-IPB, 1994
4. Republika, 24 September 1995
5. Republika, 21 April 1998
Perempuan (1/4)
Sejarah menginformasikan bahwa sebelum turunnya Al-Quran
terdapat sekian banyak peradaban besar, seperti Yunani,
Romawi. India, dan Cina. Dunia juga mengenal agama-agama
seperti Yahudi, Nasrani, Buddha, Zoroaster, dan sebagainya.
Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran
filsafatnya, tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban
wanita. Di kalangan elite mereka, wanita-wanita ditempatkan
(disekap) dalam istana-istana. Dan di kalangan bawah, nasib
wanita sangat menyedihkan. Mereka diperjualbelikan,
sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya berada di bawah
kekuasaan suaminya. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil,
bahkan hak waris pun tidak ada. Pada puncak peradaban
Yunani, wanita diberi kebebasan sedemikian rupa untuk
memenuhi kebutuhan dan selera lelaki. Hubungan seksual yang
bebas tidak dianggap melanggar kesopanan, tempat-tempat
pelacuran menjadi pusat-pusat kegiatan politik dan
sastra/seni Patung-patung telanjang yang terlihat di
negara-negara Barat adalah bukti atau sisa pandangan itu.
Dalam pandangan mereka, dewa-dewa melakukan hubungan gelap
dengan rakyat bawahan, dan dari hubungan gelap itu lahirlah
"Dewi Cinta" yang terkenal dalam peradaban Yunani.
Dalam peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah
kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah
ke tangan sang suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan
menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh Keadaan tersebut
berlangsung terus sampai abad ke-6 Masehi. Segala hasil
usaha wanita, menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki.
Pada zaman Kaisar Constantine terjadi sedikit perubahan
yaitu dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi
wanita, dengan catatan bahwa setiap transaksi harus
disetujui oleh keluarga (suami atau ayah).
Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari
peradabanperadaban Yunani dan Romawi. Hak hidup seorang
wanita yang bersuami harus berakhir pada saat kematian
suaminya; istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat
suaminya dibakar. Ini baru berakhir pada abad ke-17 Masehi.
Wanita pada masyarakat Hindu ketika itu sering dijadikan
sesajen bagi apa yang mereka namakan dewa-dewa. Petuah
sejarah kuno mereka me ngatakan bahwa "Racun, ular dan api
tidak lebih jahat daripada wanita." Sementara itu dalam
petuah Cina kuno diajarkan "Anda boleh mendengar pembicaraan
wanita tetapi sama sekali jangan mempercayai kebenarannya."
Dalam ajaran Yahudi, martabat wanita sama dengan pembantu.
Ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai
saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai
sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir
dari surga.
Dalam pandangan sementara pemuka/pengamat Nasrani ditemukan
bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk menyesatkan manusia.
Pada abad ke-5 Masehi diselenggarakan suatu konsili yang
memperbincangkan apakah wanita mempunyai ruh atalu tidak,
Akhirnya terdapat kesimpulan bahwa wanita tidak mempunyai
ruh yang suci. Bahkan pada abad ke-6 Masehi disselenggarakan
suatu pertemuan untuk membahas apakah wanita manusia atau
bukan manusia. Dari pembahasan itu disimpulkan bahwa wanita
adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani
laki-laki. Sepanjang abad pertengahan, nasib wanita tetap
sangat memprihatinkan, bahkan sampai tahun 1805
perundang-undangan Inggris mengakui hak suami untuk menjual
istrinya, dan sampai tahun 1882 wanita Inggris belum lagi
memiliki hak pemilikan harta benda secara penuh, dan hak
menuntut ke pengadilan.
Ketika Elizabeth Blackwill - yang merupakan dokter wanita
pertama di dunia - menyelesaikan studinya di Geneve
University pada tahun 1849, teman-temannya yang bertempat
tinggal dengannya memboikotnya dengan dalih bahwa wanita
tidak wajar memperoleh pelajaran, Bahkan ketika sementara
dokter bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk wanita
di Philadelphia, Amerika Serikat, Ikatan Dokter setempat
mengancam untuk memboikot semua dokter yang bersedia
mengajar di sana.
Demikian selayang pandang kedudukan wanita sebelum,
menjelang, dan sesudah kehadiran Al-Quran. Nah, situasi dan
pandangan yang demikian tentunya tidak sejalan dengan
petunjuk-petunjuk Al-Quran. Disisi lain, sedikit atau banyak
pandangan demikian mempengaruhi pemahaman sementara pakar
terhadap redaksi petunjuk-petunjuk Al-Quran sebagaimana akan
disinggung berikut ini.
ASAL KEJADIAN PEREMPUAN
Berbicara mengenai kedudukan wanita, mengantarkan kita agar
terlebih dahulu mendudukkan pandangan Al-Quran tentang asal
kejadian perempuan. Dalam hal ini, salah satu ayat yang
dapat diangkat adalah firman Allah dalam surat Al-Hujurat
ayat 13,
"Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan
kamu (terdiri) dan lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu
adalah yang paling bertakwa."
Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia - dan
seorang lelaki dan perempuan - sekaligus berbicara tentang
kemuliaan manusia - baik lelaki maupun perempuan - yang
dasar kemuliaannya bukan keturunan, suku, atau jenis
kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah Swt. Memang, secara
tegas dapat dikatakan bahwa perempuan dalam pandangan
Al-Quran mempunyai kedudukan terhormat.
Dalam hal ini Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, menulis
dalam bukunya Min Tawjihat Al-Islam bahwa,
"Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat
(dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada
perempuan- sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki -
potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung
jawab, dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat
melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun
khusus. Karena itu, hukum-hukum syariat pun meletakkan
keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan
membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum,
menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga
demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin,
melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan."
Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam
pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman
Allah dalam surat An-Nisa, ayat 1:
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya
Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah
memperkembang-biakkan lelaki dan perempuan yang banyak."
Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan
Adam, seperti misalnya Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Katsir,
Al-Qurthubi, Al-Biqa'i, Abu As-Su'ud, dan lain-lain. Bahkan
At-Tabarsi, salah seorang ulama tafsir bermazhab Syi'ah
(abad ke-6 H) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa seluruh
ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam.
Beberapa pakar tafsir seperti Muhammad 'Abduh, dalam tafsir
Al-Manar, tidak berpendapat demikian; begitu juga rekannya
Al-Qasimi, Mereka memahami arti nafs dalam arti "jenis."
Namun demikian, paling tidak pendapat yang dikemukakan
pertama itu, seperti yang ditulis Tim Penerjemah Al-Quran
yang diterbitkan oleh Departemen Agama. adalah pendapat
mayoritas ulama.
Dari pandangan yang berpendapat bahwa nafs adalah Adam,
dipahami pula bahwa kata zaujaha, yang arti harfiahnya
adalah "pasangannya," mengacu kepada istri Adam, yaitu Hawa.
Agaknya karena ayat diatas menerangkan bahwa pasangan
tersebut diciptakan dari nafs yang berarti Adam, para
penafsir terdahulu memahami bahwa istri Adam (perempuan)
diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini, kemudian
melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan, dengan
menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Tanpa
lelaki, perempuan tidak akan ada. Al-Qurthubi, misalnya,
menekankan bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk
Adam sebelah kiri yang bengkok, dan karena itu "wanita
bersifat 'auja' (bengkok atau tidak lurus)."
Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya
demikian- Pandangan ini agaknya bersumber dari sebuah hadis
yang menyatakan:
"Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada
perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang
bengkok... (HR At-Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Hadis diatas dipahami oleh ulama-ulama terdahulu secara
harfiah. Namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya
secara metafora, bahkan ada yang menolak kesahihan
(kebenaran) hadis tersebut.
Yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadis diatas
memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan
bijaksana, karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan
mereka yang tidak sama dengan lelaki - hal mana bila tidak
disadari akan dapat mengantarkan kaum lelaki bersikap tidak
wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat
bawaan perempuan, kalaupun mereka berusaha akibatnya akan
fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang
bengkok.
Ath-Thabathaba'i dalam tafsirnya menulis, bahwa ayat diatas
menegaskan bahwa "perempuan (istri Adam) diciptakan dari
jenis yang sama dengan Adam, dan ayat tersebut sedikit pun
tidak mendukung paham sementara mufasir yang beranggapan
bahwa perempuan diciptakan dari tulung rusuk Adam. Kita
dapat berkata, bahwa tidak ada satu petunjuk yang pasti dari
ayat Al-Quran yang dapat mengantarkan kita untuk menyatakan
bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau bahwa
unsur penciptaannya berbeda dengan lelaki. Ide ini, seperti
ditulis Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar-nya, timbul dan
ide yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian II:
21-22) yang menyatakan bahwa ketika Adam tidur lelap, maka
diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu
ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka dari
tulang yang telah dikeluarkan dan Adam itu, dibuat Tuhan
seorang perempuan.
"Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa
dalam Kitab Perjanjian Lama seperti redaksi diatas, niscaya
pendapat yang menyatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang
rusuk Adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang
Muslim," demikian Rasyid Ridha- (Tafsir Al-Manar IV: 330)
Bahkan kita dapat berkata bahwa sekian banyak teks keagamaan
mendukung pendapat yang menekankan persamaan unsur kejadian
Adam dan Hawa, dan persamaan kedudukannya, antara lain surat
Al-Isra' ayat 70,
"Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan
mereka mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang
baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempuma atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan."
Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan,
Demikian pula penghorrnatan Tuhan yang diberikan-Nya itu
mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun
lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh surat Ali-Imran ayat
195 yang menyatakan,
"Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain ..."
Ini dalam arti bahwa sebagian kamu (hai umat manusia yang
berjenis lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan
sperma lelaki dan sebagian yang lain (hai umat manusia yang
berjenis perempuan) demikian juga halnya. Kedua jenis
kelamin ini sama-sama manusia, dan tidak ada perbedaan
diantara mereka dari segi asal kejadian serta
kemanusiaannya.
(bersambung 2/4)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
HAK DAN KEWAJIBAN BELAJAR
Amat banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang berbicara
tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan
kepada lelaki maupun perempuan, di antaranya,
"Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan
Muslimah)" (HR Al-Thabarani melalui Ibnu Mas'ud)
Para perempuan di zaman Nabi Saw. menyadari benar kewajiban
ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau
bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka
agar dapat menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu
saja dikabulkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Al-Quran memberikan pujian kepada ulul albab, yang berzikir
dan memikirkan kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran
menyangkut hal tersebut mengantarkan manusia mengetahui
rahasia-rahasia alam raya. Mereka yang dinamai ulul albab
tidak terbatas pada kaum lelaki saja, melainkan juga kaum
perempuan. Hal ini terbukti dari lanjutan ayat di atas, yang
menguraikan tentang sifat-sifat ulul albab, Al-Quran
menegaskan bahwa:
"Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan
berfirman, "Sesunggahnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun
perempuan." (QS Ali 'Imran [3]: 195) .
Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir,
mempelajari, dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati
setelah berzikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui
dari alam raya ini.
Pengetahuan tentang alam raya tentunya berkaitan dengan
berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat
dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja,
sesuai dengan keinginan dan kecenderungan masing-masing.
Sejarah membuktikan bahwa banyak wanita yang sangat menonjol
pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan,
sehingga menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki.
Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah salah seorang yang mempunyai
pengetahuan sangat dalam serta termasyhur pula sebagai
seorang kritikus, sampai-sampai ada ungkapan terkenal yang
dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi
Muhammad Saw.:
Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira,
(yakni Aisyah).
Demikian juga As-Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali
bin Abi Thalib. Kemudian, Al-Syaikhah Syuhrah yang bergelar
"Fakhr Al-Nisa', (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang
guru Imam Syafi'i, tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya
menjadi anutan banyak umat Islam di seluruh dunia. Dan masih
banyak lagi yang lainnya.
Beberapa wanita lain mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat
terhormat, misalnya Al-Khansa' dan Rabi'ah Al-Adawiyah.
Rasulullah Saw. tidak membatasi kewajiban belajar hanya
kepada perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status
sosial tinggi), tetapi juga para budak belian dan mereka
yang bersatus sosial rendah. Karena itu sejarah mencatat
sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian kemudian
mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
Al-Muqari dalam bukunya Nafhu Ath-Thib, sebagaimana dikutip
oleh Dr. Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu
Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada masanya, pernah
mengajarkan seorang perempuan liku-liku bahasa Arab.
Sehingga sang wanita pada akhirnya memiliki kemampuan yang
melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam bidang puisi,
sampai ia dikenal dengan nama Al-'Arudhiyat karena
keahliannya dalam bidang ini.
Harus diakui hahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam
belum sebanyak dan seluas sekarang ini. Namun Islam tidak
membedakan satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya,
sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas
hidup pada masa kini, tidak mustahil mereka akan tekun pula
mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa
ini.
Dalam hal ini Syaikh Muhammad Abduh menulis:
Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum akidah
kelihatannya amat terbatas, sesungguhnya kewajiban mereka
untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah
tcelgga, pendidikan anak, dan sebagainya, merupakan
persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan
perbedaan waktu, tempat, dan kondisi) jauh lebih banyak
daripada soal-soal akidah atau keagamaan.
Demikianlah sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan
dalam bidang pendidikan. Kalau demikian halnya, mengapa
timbul pandangan yang membatasi wanita untuk belajar? Sekali
lagi, salah satu penyebabnya adalah ayat waqarna fi
buyutikunna yang dikemukakan di atas.
PERANAN ISTRI DALAM RUMAH TANGGA
Berbicara mengenai hal ini, ayat Ar-rijalu qawammuna 'alan
nisa' biasanya dijadikan sebagai salah satu rujukan, karena
ayat tersebut berbicara tentang pembagian kerja antara
suami-istri. Memahami pesan ayat ini, mengundang kita untuk
menggarisbawahi terlebih dahulu dua butir prinsip yang
melandasi hak dan kewajiban suami-istri:
1. Terdapat perbedaan antara pria dan wanita, bukan hanya
pada bentuk fisik mereka, tetapi juga dalam bidang psikis.
Bahkan menurut Dr. Alexis Carrel salah seorang dokter yang
pernah meraih dua kali hadiah Nobel -perbedaan tersebut
berkaitan juga dengan kelenjar dan darah masing-masing
kelamin.
Pembagian harta, hak, dan kewajiban yang ditetapkan agama
terhadap kedua jenis manusia itu didasarkan oleh
perbedaan-perbedaan itu.
2. Pola pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak
menjadikan salah satu pihak bebas dan tuntutan - minimal
dari segi moral - untuk membantu pasangannya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan,
"Bagi lelaki (suami) terhadap mereka (wanita/istri) satu
derajat (lebih tinggi)."
Derajat lebih tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas
dijelaskan oleh surat An-Nisa' ayat 34, yang menyatakan
bahwa "lelaki (suami) adalah pemimpin terhadap perempuan
(istri)."
Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan hal yang mutlak,
lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu
bersama, serta merasa memiliki pasangan dan keluarga,
Persoalan yang dihadapi suami-istri, muncul dari sikap jiwa
manusia yang tercermin dari keceriaan atau cemberutnya
wajah. Sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul
seketika, tetapi boleh juga sirna seketika dan dimana pun.
Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin yang
melebihi kebutuhan suatu perusahaan yang sekadar bergelut
dengan angka, dan bukannya dengan perasaaan serta diikat
oleh perjanjian yang bisa diselesaikan melalui pengadilan.
Hak kepemimpinan menurut Al-Quran seperti yang dikutip dari
ayat di atas, dibebankan kepada suami. Pembebanan itu
disebabkan oleh dua hal, yaitu:
a. Adanva sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih
dapat menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika
dibandingkan dengan istri.
b. Adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota
keluarganya.
Ibnu Hazm - seorang ahli hukum Islam - berpendapat bahwa
wanita pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suami dalam
hal menyediakan makanan, menjahit, dan sebagainya. Justru
sang suamilah yang berkewajiban menyiapkan pakaian jadi, dan
makanan yang siap dimakan untuk istri dan anak-anaknya.
Walaupun diakui dalam kenyataan terdapat istri-istri yang
memiliki kemampuan berpikir dan materi melebihi kemampuan
suami, tetapi semua itu merupakan kasus yang tidak dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan suatu kaidah yang bersifat
umum
Sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa pembagian kerja ini
tidak membebaskan masing-masing pasangan - paling tidak dari
segi kewajiban moral - untuk membantu pasangannya dalam hal
yang berkaitan dengan kewajiban masing-masing. Dalam hal ini
Abu Tsaur, seorang pakar hukum Islam, berpendapat bahwa
seorang istri hendaknya membantu suaminya dalam segala hal.
Salah satu alasan yang dikemukakannya adalah bahwa Asma,
putri Khalifah Abu Bakar, menjelaskan bahwasanya ia dibantu
oleh suaminya dalam mengurus rumah tangga, tetapi Asma, juga
membantu suaminya antara lain dalam memelihara kuda
suaminya, menyabit rumput, menanam benih di kebun, dan
sebagainya.
Tentu saja di balik kewajiban suami tersebut, suami juga
mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. Suami
wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan ajaran agama
dan hak pribadi sang istri. Sedemikian penting kewajiban
ini, sampai-sampai Rasulullah Saw. bersabda, "Seandainya aku
memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seseorang,
niscaya akan kuperintahkan para istri untuk sujud kepada
suaminya." Bahkan Islam juga melarang seorang istri berpuasa
sunnah tanpa seizin suaminya. Hal ini disebabkan karena
seorang suami mempunyai hak untuk memenuhi naluri
seksualnya.
Dapat ditambahkan bahwa Rasulullah Saw. menegaskan bahwa
seorang istri memimpin rumah tangga dan bertanggung Jawab
atas keuangan suaminya. Pertanggungjawaban tersebut terlihat
dalam tugas-tugas yang harus dipenuhi, serta peran yang
diembannya saat memelihara rumah tangga, baik dari segi
kebersihan, keserasian tata ruang, pengaturan menu makanan,
maupun pada keseimbangan anggaran. Bahkan pun istri ikut
bertanggung jawab - bersama suami - untuk menciptakan
ketenangan bagi seluruh anggota keluarga, misalnya, untuk
tidak menerima tamu pria atau wanita yang tidak disenangi
oleh sang suami. Pada tugas-tugas rumah tangga inilah
Rasulullah Saw. membenarkan seorang istri melayani bersama
suaminya tamu pria yang mengunjungi rumahnya.
Pada konteks inilah perintah Al-Quran harus dipahami agar
para istri berada di rumah.
Firman Allah waqarna fi buyutikunna (Dan tetaplah tinggal
berdiam di rumah kalian) dalam surat Al-Ahzab ayat 33,
menurut kalimatnya ditujukan untuk istri-istri Nabi kendati
dapat dipahami sebagai acuan kepada semua wanita. Namun
tidak berarti bahwa wanita harus terus-menerus berada di
rumah dan tidak diperkenalkan keluar, melainkan
mengisyaratkan bahwa tugas pokok yang harus diemban oleh
seorang istri adalah memelihara rumah tangganya.
0 Response to "bumerang emansipasi"
Posting Komentar