DEKONSTRUKSI KHILAFAH , Skenario
Jahat di Balik Runtuhnya Khilafah
Bani
Utsman, kurang lebih selama dua abad kekuasaan mereka, telah dipimpin oleh
delapan sultan, sebelum akhirnya mereka melakukan ekspansi ke sebagian negeri
Arab. Turki Utsmani sama dengan para pendahulu mereka, seperti Turki Saljuk dan
kabilah Hun. Mereka berasal dari keturunan Mongol, atau Thurani. Mereka mulai
merambah ke Eropa pada abad ke-5 M. Mereka lahir dan dibesarkan di Asia Tengah
dan Utara. Etnis yang sama juga dimiliki bangsa Bulgaria, yang telah merambah
ke Eropa Timur, dan menetap di sana selama dua abad, ke-7 dan ke-9 M. Turki
Utsmani adalah etnis Asia terakhir yang telah merambah dan mendiami Eropa,
bahkan merupakan negara Mongol yang paling penting dan kuat, yang pernah lahir
dalam sejarah.
Sejarah
Turki Utsmani dimulai dengan peristiwa agung, yang notabene menunjukkan
kepahlawanan dan kesatriaan mereka. Pada pertengahan abad ke-13 M, Turki
Utsmani merupakan salah satu kabilah kecil di Asia Tengah, yang telah
dikalahkan oleh Mongol—di bawah pimpinan Artoghul, kepala suku Turki
Utsmani—menyusuri Asia Tengah, berdekatan dengan Ankara. Ketika mereka menyaksikan dua
kelompok berperang, yaitu Kekaisaran Romawi dengan Dinasti Saljuk Rum, yang
berpusat di Iconium di bawah pimpinan Sultan ‘Alauddin, maka para pemuka
kabilah kecil ini tak punya pilihan lain, kecuali melibatkan diri dalam
peperangan ini, karena dorongan naluri berperang mereka demi melindungi pihak
yang lemah, sehingga Artoghûl dan sekutunya (Sultan ‘Alâ’uddîn) yang lemah
tersebut menuai kemenangan. Kabilah kecil dan tokohnya, Arthaghul, inilah yang
merupakan cikal bakal Turki Utsmani. Dialah bapak Utsman, yang namanya kemudian
digunakan untuk menyebut negara yang dibangunnya.
Setelah
Artoghul meninggal dunia pada tahun 1288 M, anak tertuanyalah yang kemudian
menggantikannya. Dialah Utsman. Utsman dikenal sebagai pemimpin yang mempunyai
keberanian luar biasa untuk mengalahkan kabilah dan trah yang berdekatan.
Inilah yang mendorong Sultan ‘Alauddin untuk mengangkatnya menjadi pemimpin dan
menjadikannya sebagai penguasa yang independen di semua wilayah yang telah
ditaklukkannya.
Pada
tahun 1300 M, Mongol telah menyerang Daulah Saljuk di Asia Kecil, dan berhasil
menghancurkannya. Sultan Alauddin kemudian meninggal, lalu tiap emir melepaskan
diri dengan wilayahnya sendiri-sendiri; Utsman pun akhirnya memisahkan diri dan
mempunyai kekuasaan tersendiri. Dari sanalah kekuasaannya sedikit demi sedikit
berkembang hingga beliau mendengar penaklukan Bursa, ketika beliau tengah terbaring
menjelang kematiannya. Utsman memberikan perhatian besar pada strukturisasi
tentara dan pemerintahan sehingga namanya menjulang, dan negaranya pun menjadi
besar. Namanya begitu dikenal dan disebut-sebut di kalangan para pemimpin
sehingga dia disebut sebagai pendiri negaranya. Karena itu, negaranya
dinisbatkan kepada dirinya.
Pada
tahun 1336 M, Utsman meninggal, kemudian digantikan oleh puteranya, Ourkhan,
yang memang telah dilatih dengan berbagai kegiatan peperangan dan pemerintahan,
hingga berhasil menguasai Bursa, dan menjadikannya sebagai ibokuta bagi negara
baru ini. Dengan manuver inilah, keluarga Utsman telah mendekati
Konstantinopel, ibukota Bizantium.
Sebelum
perang di antara kedua pemerintahan ini berlangsung—yang satu negara muda,
kuat, dan berambisi untuk mengembangkan kekuasaannya; sedangkan yang satu lagi
negara tua, yang mulai merosot dan sebelum sampai ke Konstantinopel, Ourkhan
terlebih dulu menduduki Izmir.
Dia melihat pentingnya dilakukan sejumlah pembenahan, yang kelak akan mempunyai
pengaruh langsung bagi kemenangan yang akan diraih Turki Utsmani, pertama-tama
di Asia Kecil, kemudian di Eropa. Dia menaklukkan Nicomedia
(Izmit) dan Nicaea (Iznik) serta negeri-negeri Asia dan Bizantium yang lain. Setelah itu, selama 20
tahun, dia mengokohkan pilar-pilar pemerintahannya, memperbaiki urusan internal
negara, serta mendirikan angkatan bersenjata baru, yang dikenal dengan Inkisyâriyah.
Angkatan bersenjata inilah yang dalam kurun waktu cukup lama menjadi
penopang kekuatan negara Utsmani, baik dalam peperangan maupun penaklukan.
Ketika
Muhammad II bin Murad II naik tahta, dia segera merealisasikan cita-cita kaum
Muslim sejak zaman permulaan Islam untuk menaklukkan Konstantinopel hingga
cita-cita itu benar-benar berhasil diwujudkan pada tahun 857 H/1453 M.
Akhirnya, dia dikenal dengan nama Muhammad al-Fatih (Muhammad sang Penakluk),
dan tak lama kemudian Islâm bûl—atau yang kini dikenal dengan
Istambul—itu menjadi ibukota negara Utsmani, dan menjadi titik tolak untuk
melakukan penaklukan ke seluruh Eropa, setelah sebelumnya penaklukan telah
terhenti, dengan meninggalnya Abdurrahman al-Ghafiqi, di bagian Selatan
Prancis. Tak lama kemudian, Muhammad al-Fatih bertolak untuk menundukkan Murrah, Serbia,
dan Bosnia.
Beliau juga melakukan tekanan terhadap Italia, Hungaria, dan Jerman. Akhirnya,
Tharabzun dan Cremia di kawasan Asia pun
tunduk kepadanya. Setelah itu, dia kembali untuk menaklukkan Jerman dan
beberapa bagian wilayah Italia, namun dia meninggal dunia sebelum bisa
merealisasikan rencananya untuk menaklukkan Rodesia.
Dia
kemudian digantikan oleh putranya, Yazid II, yang telah berhasil mewujudkan
kemenangan armada laut Utsmani yang pertama, melawan armada Bunduqiyah
(Italia). Kekuasaannya kemudian diserahkan kepada anaknya, Salim I. Dialah yang
kemudian menjadi sultan Utsmani yang paling besar dan mendapatkan kemenangan
serta penaklukan paling banyak. Dia menyerang Sultan Safawi, Shah Ismail, yang
telah berusaha menyebarkan mazhab Syiah, dan mengembangkan kekuasaan Persia
hingga ke Irak. Dia berhasil dikalahkan di Galadiran, berdekatan dengan Tibriz.
Sultan Salim I kemudian menduduki Diyarbakar dan Kurdistan,
yang merupakan langkah awal untuk menaklukkan Syam dan Mesir, seiring dengan
kemenangannya di Maraj Dabiq dan Raidaniyah. Pada saat itu, Kekhilafahan Islam
secara syar‘î telah berpindah ke tangannya, setelah Khalifah
al-Mutawakkil Alallah, Khalifah Abbasiyah terakhir di Mesir, menyerahkan tampuk
kekhilafahan kepadanya. Sultan Salim I pun resmi menjadi khalifah kaum Muslim
di seluruh dunia sejak tahun 923 H/1517 M. Dia kemudian meninggal setelah 8
tahun berkuasa. Syarif Makkah juga telah menyerahkan kunci-kunci dua tanah
suci, Makkah dan Madinah, kepadanya.
Setelah
itu, dia digantikan oleh Sultan Sulaiman al-Qanuni (926-974 H/1520-1566 M). Era
kepemimpinannya dianggap sebagai era Kekhilafahan Utsmani yang paling jaya
berkat kebangkitan sains yang diikuti penemuan ilmiah dan geografis Eropa,
sementara Khilafah Utsmani telah meninggalkan jauh negara-negara Eropa, di
bidang militer, sains, dan politik. Sulaiman juga telah berhasil menaklukkan Belgrade dan mengambil
Rodesia dari pasukan berkuda Santo (Karel Agung) Yohana. Dia menuai kemenangan
atas Hongaria dalam pertempuran Mouhackz, serta berhasil menaklukkan Armenia
dan Irak, hingga armada laut Khilafah Utsmaniah disegani di seluruh perairan
laut; mulai dari Laut Putih, Laut Merah, hingga Samudera Hindia—meskipun
kekuatannya belum bisa mengalahkan pasukan berkuda Santo Yohana, penguasa
kepulauan Malta. Kepulauan ini merupakan pemberian Charles V, ketika mereka
diusir oleh tentara Khilafah Utsmaniah dari Rodesia pada tahun 1522 M.
Para
ahli sejarah sepakat, bahwa zaman Sulaiman al-Qanuni merupakan zaman kejayaan
dan kebesaran Khilafah Utsmaniyah. Hanya dalam waktu 3 abad, kabilah kecil ini
berhasil melebarkan sayap kekuasaannya dari Laut Merah, Laut Tengah, dan Laut
Hitam. Penaklukannya terbentang dari Makkah hingga Budapest
di satu sisi dan dari Baghdad
hingga ke Aljazaer di sisi lain. Dua pantai, utara dan selatan, Laut Hitam pun
jatuh ke tangannya. Sebagian besar Kerajaan Austria dan Hongaria pun jatuh ke
tangannya. Kekuasaan mereka sampai di bagian utara Afrika dari arah negeri Syam
hingga perbatasan Marokesh. Setelah Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia pada
tahun 974 H/1566 M, negara mulai mengalami kemerosotan terus-menerus.
Hoax