Pengunjung

Kala Wanita Harus Mandiri

Diposkan oleh Unknown On 10.50

Kala Wanita Harus Mandiri
Malam kian larut, Rida masih berdiri mematung di samping tempat tidur anak-anaknya. Dipandanginya satu persatu wajah-wajah polos buah hatinya yang tengah terlelap. Waktu terus berjalan, tak terasa anak-anak pun kian tumbuh dan berkembang. Si sulung Syifa tak lama lagi akan meninggalkan bangku Sekolah Dasar, disusul adiknya Salmaa yang hanya terpaut usia empat belas bulan. Ramadhan anak laki-laki satu-satunya kini telah menginjak kelas tiga SD. Sedangkan si bungsu Salsa tahun ini seharusnya sudah masuk di Taman Kanak-Kanak.
Bagi Rida, ini bukan kali pertama ia kesulitan memejamkan mata. Sejak suaminya meninggal enam bulan yang lalu, banyak sekali beban yang dirasakan menghimpitnya. Anak-anak yang kian besar disamping sangat membutuhkan perhatiannya, secara finansial juga membutuhkan biaya yang lebih besar. Rida sering kali merasa khawatir tak mampu membesarkan anak-anaknya dengan baik. Rida adalah seorang ibu yang sangat peduli dengan perkembangan dan pendidikan putra-putrinya.
Tak pernah terbayangkan olehnya, kalau suaminya akan secepat itu meninggalkan diri dan anak-anaknya yang masih sangat membutuhkannya. Rida merasa tak siap, karena selama ini urusan menafkahi keluarga tertumpu pada suaminya.
Dulu Rida bisa dengan sesuka hati memilihkan makanan yang sehat dan bergizi, membelikan berbagai mainan edukatif, buku-buku berkualitas, mengikutkan anaknya pada beberapa kursus yang disukainya, pergi rekreasi, dan mengikuti berbagai aktivitas lainnya yang ditujukan untuk menunjang perkembangan fisik, mental, dan intelektual anak-anaknya. Kini Rida tak bisa sebebas itu lagi. Ia harus begitu hemat dan cermat dalam mengeluarkan rupiah demi rupiah.
Tak ada uang pensiun yang ditinggalkan suaminya, hanya uang tunjangan dari perusahaannya serta sedikit uang tabungannya. Sebagai seorang ibu rumah tangga yang terbiasa menggantungkan hidup pada sang suami tentu saja Rida merasa kelimpungan. Meminta bantuan orang tua atau mertuanya tentu bukan pilihan yang menyenangkan, karena disamping keadaan mereka yang biasa-biasa juga Rida merasa tak pantas.
Berusaha mandiri, itulah pilihan yang tepat. Tapi itu tak mudah, disamping tak terbiasa, Rida juga tak memiliki keterampilan khusus yang bisa diandalkan untuk menopang hidup keluarganya. Darimana dan bagaimana ia harus memulai..
Kasus pelik yang dialami Rida merupakan hal yang juga dialami oleh sebagian wanita yang bernasib kurang beruntung. Siapa sangka pasangan hidup meninggal dunia atau menceraikan karena suatu sebab. Atau penghasilan suaminya tak cukup memadai. Siapa yang menginginkan hal itu terjadi. Takdir tak bisa diajak kompromi. Hidup harus terus diperjuangkan dan harus bertahan.
Nafkah dalam Islam
Dalam Islam persoalan menafkahi keluarga telah diatur dengan sangat jelas. Suami sebagai kepala keluarga berkewajiban untuk menafkahi keluarga. Dalam surat QS Ath-Thalaaq, 65:7 dikatakan bahwa "Hendaklah suami yang berkemampuan, memberikan nafkah sesuai kemampuannya".
Ayat lain mengatakan bahwa "Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya, dan ayah berkewajiban memberi makan dan pakaian kepada ibu-ibu tersebut dengan cara yang wajar ". (Al-Baqarah, 2:233). Berdasarkan ayat-ayat tersebut sangat jelas dikatakan bahwa suamilah yang dituntut untuk menafkahi keluarganya, baik dalam hal pangan maupun sandang.
Tempat tinggal juga menjadi tanggungjawab suami untuk menyediakannya. "Tempatkanlah mereka (istri-istri) di tempat kamu tinggal sesuai dengan kemampuan kamu (menyediakannya), tetapi janganlah kamu membahayakan mereka karena kamu bermaksud menyusahkan mereka"( QS Ath-Thalaaq, 65:6).)
Demikianlah secara normatif Islam telah mengaturnya dengan adil. Wanita yang memiliki tugas reproduksi ?yang tak bisa dipertukarkan dengan pria- tidak dibebani kewajiban dalam hal memenuhi kebutuhan keluarga. Namun ada kalanya hal yang diinginkan terjadi, sebagaimana kasus yang dialami Rida. Dengan demikian meski beban mencari nafkah ada pada suami, bukan berarti wanita tak penting untuk mengasah bakat atau mengembangkan potensinya untuk kemudian bekerja membantu mencari nafkah.
Islam tidak melarang wanita untuk turut mencari nafkah. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada zaman Rasulullah para wanita turut aktif dalam kegiatan muamalah dan kegiatan kemasyarakatan umum, bahkan ada yang ikut dalam peperangan.
Zainab Istri Ibnu Mas'ud berusaha sendiri serta menafkahi suami dan anak yatim, ketika hal itu ditanyakan pada Rasulullah, maka Rasulullah mengatakan bahwa yang demikian itu sah dan baginya dua pahala, yaitu pahala kerabat dan pahala bersedekah. (HR Bukhari Muslim).
Istri Rasulullah sendiri Khadijah, adalah seorang pengusaha profesional, bahkan Nabi Muhammad pun pernah menjadi karyawannya. Peran Khadijah sangat besar dalam menunjang perjuangan Nabi.
Banyak kisah-kisah Zaman Rasulullah yang menggambarkan keikutsertaan para wanita dalam menghidupi keluarganya baik dalam bidang peternakan, pertanian maupun perdagangan. Bahkan Al Quran mengisahkan tentang dua anak gadis Nabi Syuaib yang bekerja di luar rumah sebagai gembala ternak milik ayahnya. Dalam keadaan memaksa, anak laki-laki maupun perempuan sama-sama berkewajiban membantu ayahnya (keluarganya) yang tidak mampu.
Wanita dan Dunia Kerja
Peta kemiskinan dunia menunjukkan bahwa banyak keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan adalah golongan yang menjadi kepala keluarganya adalah wanita. Hal ini menggambarkan bahwa banyak para ibu yang tak siap menjadi pencari nafkah ketika ditinggal suami. Padahal apabila wanita (ibu) dalam satu keluarga tetentu berada dalam kondisi "miskin", baik pendidikan, pengetahuan maupun pengalaman, maka besar kemungkinan keluarga yang dibentuknya akan "miskin" juga, seperti yang ditulis Harrel R. Rodges dalam buku Poor Women Poor Families. Satu fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa di berbagai belahan bumi manapun, pendidikan bagi anak perempuan masih dinomor-duakkan
Profesionalime yang kurang mengakibatkan terpinggirkannya wanita dalam dunia kerja. Sektor-sektor yang bisa direngkuh kebanyakan dalam sektor domestik seperti pramu wisma atau buruh pabrik-pabrik.
Bekerja khususnya jika dilakukan di luar rumah, di sisi lain juga menimbulkan sisi-sisi negatif. Disamping secara psikologis menimbulkan rasa bersalah di hati para ibu karena telah meninggalkan anak-anaknya, juga masalah sosial seperti adanya pelecehan seksual, baik dari atasan atau rekan sekerja. Selain itu ditinjau dari segi penghasilan, upah wanita cenderung lebih kecil dibanding pria.
Para "feminis" menganjurkan wanita bekerja karena menganggap bahwa kekerasanan dan ketertindasan wanita (istri) oleh kaum lelaki (suami), karena lemahnya posisi wanita dalam hal ekonomi keluarga. Ketergantungan istri dalam segi keuangan terhadap suami, menimbulkan tindak kesewenang-wenangan para suami.
Namun fenomena lain cukup menarik terjadi di Amerika Serikat. Umumnya pada pasangan suami istri di AS sebagian besar istrinya bekerja. Akan tetapi data statistik di sana menujukkan bahwa tiap 9 menit terjadi kekerasan fisik terhadap wanita, 25 % perempuan yang terbunuh adalah dibunuh oleh pasangan suaminya. Kekerasan dalam rumah tangga di AS merupakan bahaya terbesar -meski tersembunyi- bagi para istri dibanding bahaya perampokan dan pencurian.
Hal ini menunjukkan bahwa wanita bekerja bukan merupakan solusi terhadap tindak kekerasan para suami terhadap istri. Dengan kata lain janganlah wanita bekerja karena takut diremehkan atau diperlakukan kasar oleh suami.
Menjadi ibu rumah tangga bagaimanapun merupakan tugas mulia. Pekerjaan rumah tangga tidak bisa dinilai remeh. Jika pekerjaan rumah tangga ditambahkan ke dalam angka?angka bagi GNP global maka diperkirakan angka GNP global tersebut akan meningkat sekitar sepertiganya. Kajian terakhir tentang wanita menunjukkan bahwa perempuan selalu penting secara ekonomi, dan kerja yang dilakukannya dalam rumah tangga sangat mendasar untuk mempertahankan masyarakatnya.
Namun kembali kepada masalah semula ada kalanya wanita harus bekerja untuk memenuhi tuntutan kebutuhan keluarga. Dalam hal ini diperlukan tumbuhnya kemandirian dan kekuatan internal untuk mengatasi masalah tersebut. Wanita perlu membekali dirinya dengan pengetahuan dan keterampilan agar bisa dipergunakan dalam kehidupan rumah tangganya.
Pada dasarnya bekerja bagi wanita Indonesia sudah merupakan tradisi turun menurun. Sudah sejak dulu para istri membantu di ladang atau di sawah. Namun kehidupan pada masa kini memberikan tawaran yang sangat luas bagi wanita.
Penting digarisbawahi bahwa wanita khususnya muslimah harus selektif dalam menentukan jenis pekerjaan yang akan digeluti. Perlu diperhatikan dampak negatifnya, juga bidang yang sesuai dengan kodratnya, dan secara syariat juga perlu diperhatikan. Beberapa pilihan pekerjaan bisa dilakukan di dalam rumah. Bagaimanapun tugas utama seorang ibu adalah di rumah tangga.
Bekerja bukan bertujuan untuk mencari kebebasan. Ketika seorang sahabat Rasul menanyakan bolehkah bibinya yang yang dicerai suaminya hendak memanen kurma pada masa 'idahnya. Rasulullah menjawab "Tidak apa-apa potonglah buah kurmamu. Barangkali dengan begitu kamu biasa bersedekah atau melakukan suatu kebajikan" (HR Muslim).
Zainab binti Jahsy adalah ahli dalam menyamak dan menjahit kulit dan dengan hasil usahanya itu dia bersedekah di jalan Allah. Suatu hari Aisyah r.a berkata: ". Ternyata yang terpanjang tangannya di antara kami adalah Zainab sebab dia sudah terbiasa berusaha dengan tangannya sendiri dan bersedekah (HR Muslim).
Oleh karena itu ketika seseorang wanita bekerja, tujuannya semata-mata hanya untuk melakukan kebajikan. Dengan demikian akan memberi manfaat. (Ida S. W)

0 Response to "Kala Wanita Harus Mandiri"

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Hostgator Coupon Code