Pengunjung

Kekalahan Pemilu: Buah Liberalisasi Islam

Diposkan oleh Unknown On 00.16

Kekalahan Pemilu: Buah Liberalisasi Islam

Pemilu Capres putaran pertama kemarin kembali memberikan pelajaran berharga bagi kita. Bahwa kita, pemikiran kita, visi dan misi kita belum diterima oleh umat secara utuh. Terbukti, dua calon presiden yang sering disebut mewakili kelompok Islam, Amin Rais dan Hamzah Haz kalah suara. Bagaimanapun, Amin Rais, meskipun belakangan tidak ingin menampilkan sosok diri sebagai wakil kelompok Islam, namun tidak bisa dibantah Amin Rais yang dulunya pernah memimpin Muhammadiyah, tetap dianggap wakil dari kelompok Islam. Sementara Hamzah Haz dianggap merupakan satu-satunya calon dari parpol Islam yang ada.

Namun kenyataannya, figur-figur pemimpin yang dikenal nasionalis-sekuler lebih dipilih rakyat. Diatas perhitungan kertas dengan dukungan Muhamadiyah, Persis, PKS, beberapa Ormas Islam dan partai–partai lain, seharusnya Amin Rais bisa mendulang banyak suara. Sayang, Amin hanya mendapat sedikit suara. Menurut exit polling LP3ES, suara Muhamadiyah tidak utuh diberikan kepada Amin Rais hanya sekitar 54%. Demikian juga adanya dugaan (semoga tidak benar dalam realitanya) bahwa sebagian pemilih PKS beralih ke SBY, tentu mengejutkan. Berdasarkan exit polling LP3ES 24 % suara partai dakwah ini diberikan ke SBY. Padahal Partai ini dalam keputusan terakhirnya menjadikan Amin Rais sebagai calon. Dan sudah lama didengar ketidaknyamaan beberapa kelompok Islam terhadap SBY yang sering diisukan miring tidak pro Islam.


Semua ini menunjukkan pada kita rakyat Indonesia yang mayoritas muslim ini, memang belum memihak kepada kita. Mayoritas umat masih memilih berdasarkan pertimbangan yang irrasional dan emosional. Tidak melihat latar belakang, ideologi, atau visi misi capres yang bersangkutan. Bisa kita lihat, alasan-alasan yang digunakan oleh umat untuk memilih capresnya: kapan lagi kita punya presiden yang ganteng, pintar nyanyi, kalem, tenang dan faktor-faktor penampilan luar lainnya. Umat tampaknya tidak begitu peduli, apakah calon mereka memperjuangkan syariat Islam atau tidak, mendukung umat Islam atau tidak. Tentu kita tidak bisa menyalahkan umat dalam hal ini.

Ini adalah kesalahan kita bersama, kesalahan pemimpin Islam, kesalahan parpol Islam. Selama ini kita lupa atau tidak serius membangun kesadaran politik umat. Padahal siapa yang dipilih umat, sistem apa yang mereka pilih, sangat tergantung kepada kesadaran politik umat. Kesadaran politik yang dimaksud disini adalah upaya manusia (rakyat) untuk memahami bagaimana memelihara urusannya. Kesadaran politik Islam berarti kesadaran umat bahwa segala urusan kehidupan mereka wajib didasarkan kepada Islam, yang dengan landasan aqidah Islam dan diatur oleh syariat Islam.

Wajib sadar politik Islam, berarti umat tahu, memahami dan tentu saja mempraktekkan bahwa tidak hanya sholat, shaum, zakat, atau haji mereka wajib didasarkan kepada syariat Islam. Tapi bagaimana bentuk negara, pemerintahan, ekonomi, politik, sosial budaya, termasuk pemimpin mereka wajib didasarkan kepada Islam. Sadar politik Islam berarti, mereka menolak dan mencampukkan sistem yang bertentangan dengan Islam seperti sekulerisme dan liberalisme. Artinya, umat sadar bahwa mereka harus hidup dengan sistem Islam, dibawah naungan Daulah Khilafah Islam yang akan mengatur urusan kehidupan mereka berdasarkan syariat Islam.

Dalam kondisi sadar politik Islam seperti ini, tentu saja umat tidak lagi akan memilih ideologi sekuler yang mengatur kehidupan mereka. Umat pun akan tegas menolak sistem sekuler yang ada, termasuk pemimpin-pemimpin sekuler. Sebaliknya, kalau umat tidak memiliki kesadaran politik ini mereka akan memilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang irrasional dan emosi belaka.

Namun sayang, inilah yang banyak dilupakan dalam kerja dakwah dan politik kita selama ini. Saat pemilu, kita meminta dukungan umat untuk memilih. Tapi selama ini kita juga gencar mengatakan agama harus dipisahkan dari politik (sekuler). Kita menuntut umat untuk memilih pemimpin yang pro Islam. Namun, liberalisasi ajaran Islam juga gencar dipropagandakan dengan tujuan memisahkan syariat Islam dari politik. Hal ini jelas membuat umat merasa tidak perlu terikat dengan syariat Islam yang mewajibkan pemimpin dan sistem politik yang dipilih haruslah berdasarkan syariat Islam.

Seperti analisis Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, minimnya dukungan suara Muhammadiyah kepada Amien disebabkan faktor sosiologis dan tradisi politik. Secara sosiologis, warga Muhammadiyah hidup di perkotaan. Mereka kerap mengkonsumsi wacana pemikiran-pemikiran liberal sehingga sulit untuk didikte atau diarahkan (Liputan 6 online, 9/7/2004). Hal yang sama terjadi pada suara NU, liberalisasi yang selama ini dikembangkan di NU telah melepaskan sedikit-demi sedikit keterikatan mereka pada ulama, kyai dan syariat Islam. Bukankah selama ini para santri taat kepada kyainya karena syariat Islam. Ironisnya, saat ini syariat Islam inilah yang ingin dilepaskan dari NU dengan ide-ide Islam liberal. Menurut Azyumardi, secara sosiologis kini banyak warga NU yang melakukan urbanisasi ke kota-kota besar. Di kota besar inilah mereka mengkonsumsi wacana-wacana liberal. Akibatnya, menurut Azyumardi, bisa dilihat dari tidak dominannya kepemimpinan kiai di kalangan mereka (Liputan 6 online, 9/7/2004). Jadi, apa yang dipetik oleh pemimpin dan kelompok Islam selama ini merupakan buah dari liberalisasi dan sekulerisasi yang selama ini dipropagandakan, justru oleh pemimpin Islam sendiri.

Kita ingin mengajak umat saat pemilu untuk menjadikan Islam sebagai pertimbangan dalam politik. Tapi selama ini, kita tidak atau kurang mengajarkan umat bahwa Islam dan politik suatu perkara yang tidak bisa dipisahkan. Kita malah mengajak umat untuk lebih menyibukkan diri mengurus perkara perkara individu seperti sebatas ibadah ritual atau akhlak. Kita lebih disibukkan istighosah dan dzikir bersama menangasi kemaksiatan individu kita, kita kurang mengajak umat menangisi dosa yang mereka lakukan karena tidak menegakkan syariat Islam dan daulah Khilafah Islam. Padahal bukankah itu kemaksiatan yang sangat besar?

Kurangnya kesadaran politik umat juga, buah dari ketidaktegasan kita dalam menyerukan syariat Islam. Dengan alasan ide ini masih belum laku, kontroversi, belum dipahami dan lain-lain. Tidak sedikit kita lihat pemimpin umat, ulama, yang enggan mengatakan bahwa syariat Islam wajib diperjuangkan dalam bentuk negara. Lebih ironis lagi kalau ada capres yang mengatakan syariat Islam itu memecah belah. Kita malah mengaburkan dengan ide-ide substansi Islam, masyarakat madani, yang tentu saja membuat umat semakin tidak sadar. Padahal kalau kita melihat umat belum mengerti, tugas kitalah membuat umat mengerti tentang syariat Islam dan daulah Islam. Kalau masih ada perbedaan paham, tugas kitalah meluruskannya.

Kalau kita tidak ingin kesalahan dan kekalahan ini terulang terus membangun kesadaran politik umat adalah agenda penting yang harus secara serius kita kerjakan bersama-sama, ke depan. Pertama, menyadarkan umat bahwa aqidah Islam bukan hanya menjadi dasar dari individu mereka, tapi juga juga wajib menjadi dasar dalam berpolitik, berekonomi, bernegara dan aspek publik lainnya. Kedua, menyadarkan umat bahwa wajib bagi mereka terikat pada seluruh syariat Islam, bukan hanya individu, tapi juga politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan lainnya. Ketiga, menyadarkan umat, bahwa mereka bukan hanya butuh pemimpin Islam, tapi juga butuh sistem kenegaraan yang akan menerapkan seluruh syariat Islam, yakni Daulah Khilafah Islam. Keempat, menyadarkan umat bahwa mereka harus menolak tegas ide-ide yang bertentangan dengan Islam seperti sekulerisme dan liberalisme meskipun dibalut dengan istilah-istilah Islam. Sebab semua ide ini akan menjerumuskan umat ke dalam kenistaan dan penderitaan. Kelima, umat harus disadarkan bahwa mereka tidak boleh berdiam diri dalam mewujudkan Daulah Khilafah Islam, karena ini adalah tugas bersama umat Islam. Tidak boleh ditunda-tunda, disepelakan, apalagi dianggap utopis. Karena dengan Daulah Khilafahlah persoalan-persoalan umat akan tuntas. Memang tugas ini berat, tapi akan lebih ringan kalau kita kerjakan bersama-sama. [Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia]

0 Response to "Kekalahan Pemilu: Buah Liberalisasi Islam"

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Hostgator Coupon Code