MATERI III : REPLIKASI DNA DAN PEWARISAN SIFAT
Konservasi Informasi Genetika
Untuk mempertahankan hidupnya organisme berkembang-biak
dengan cara kawin ataupun dengan cara tidak kawin. Kawin merupakan cara
pembiakan utama pada organisme tingkat tinggi. Pada organisme tingkat
rendah, cara tidak kawin merupakan strategi utamanya. Nampaknya, arah
perubahan evolutif bergerak dari strategi tidak kawin menjadi strategi kawin
[mengapa?]. Baik cara kawin atau tidak kawin, prinsipnya adalah
menghasilkan turunan berikutnya yang sama atau sedikit sama. Jadi, setiap
organisme yang berbiak harus memiliki sifat dan kemampuan meng-kopy
dirinya sendiri menjadi copy lainnya yang serupa.
Sel adalah unit dasar hidup. Semua organisme hidup tersusun dari unit sel
tunggal atau sel banyak. Untuk mempertahankan hidupnya, sel memperbanyak
dirinya dari satu generasi ke generasi lain dengan cara meng-copy
dirinya dari satu menjadi dua, dari dua menjadi empat, dan seterusnya.
Bukan saja soal jumlah sel yang berlipat-ganda, volume sel pun meningkat linier
searah dengan peningkatan jumlah sel.
Karena komposisi dan jumlah zat-zat penyusun sel tunggal
dari satu generasi ke generasi selanjutnya relatif tetap, maka terjadi
peningkatan biomasa secara linier sesuai dengan jumlah sel. Artinya bahwa
seiring dengan peningkatan jumlah sel, berlangsung biosintesis senyawa-senyawa
penyusun tubuh sel terutama karbohidrat, protein, asam-asam nukleat dan lemak.
Mereka adalah bahan baku penyusun tubuh sel seperti dinding sel, membrane, cairan
sel, dan organela; atau menjadi mesin-mesin fungsional bekerjanya aspek-aspek
fisiologis sel seperti enzim, penghantaran dan alih-ragam signal (signal
transduction), sistem kekebalan tubuh, atau cadangan energi kimia.
Keempat golongan senyawa penyusun utama tubuh sel itu
disintesis dari senyawa-senyawa antara seperti asam amino, nukleotida, gula dan
asam lemak. Senyawa-senyawa antara ini disintesis dari unsur-unsur yang jauh
lebih sederhana lagi seperti glukosa, amonia, dan garam-garam anorganik. Dalam
hal ini, glukosa disintesis langsung oleh organisme berklorofil, melalui proses
fotokimia dan biokimia fiksasi CO2 dan konversi energi radiasi
matahari ke dalam ikatan-ikatan kimia karbon glukosa. Organisme yang
tidak berklorofil bergantung penyediaan energi dan senyawa karbon dari
organisme berklorofil.
Pertanyaannya ialah, “apa kiranya yang menyebabkan sel
dan organisme mampu memperbanyak dirinya sendiri dan mewariskan semua informasi
genetis yang terkandung kepada sel turunannya?” Teori kromosom tentang
pewarisan informasi menerangkan bahwa selama proses mitosis satu sel membela
menjadi dua sel. Namun sebelum pembelahan sel berlangsung, jumlah kromosomnya
berlipat-ganda. Pada sel manusia dari 46 menjadi 92 sebelum kemudian dipilah
menjadi masing-masing 46 untuk sel-sel turunannya. Dalam pembelahan meiosis,
satu sel diploid menggandakan bahan genetiknya sekali namun diikuti oleh
pembelahan sel dua kali. Sehingga, satu sel diploid menghasilkan empat sel haploid. Setiap sel memiliki jumlah kromosom
separuh dari jumlah kromosom sel induknya.
Dengan membandingkan jumlah DNA pada sel-sel diploid dan sel-sel haploid
diperoleh data bahwa jumlah DNA pada sel-sel diploid memiliki jumlah DNA dua
kali-lipat. Seandainya satu sel diploid memiliki 9 pg (pico gram; 10-12
g) DNA maka sel haploid memiliki 4.5 pg DNA. Dalam hal ini, jumlah
kelipatan DNA selaras dengan jumlah kelipatan kromosom. Dengan demikian,
setiap sekali pembelahan sel mitosis jumlah DNA-nya pun bertambah dua dua kali.
Visualisasi replikasi DNA berselaras dengan replikasi
kromosom selama proses pembelahan sel mitosis didemonstrasikan oleh Herber
Taylor (1958). Ia memberi makan tanaman keluarga lili dengan thimin radioaktif,
setelah sel-selnya membelah. Tanaman-tanaman tersebut kemudian dipindahkan ke
dalam media tanpa radioisotop. Preparat kromosom yang berasal baik
sebelum, selama dan setelah perlakuan isotop disiapkan dipermukaan slide kaca,
dan disingkap kepermukaan film fotograf.
Hasilnya bahwa sebelum kromosom itu diperlakukan dengan
isotop thimin, kromosomnya tidak menghasilkan "pengenal" dalam
kromosom berupa warna "hitam hangus" di permukaan film. Kromosom yang
langsung dipersiapkan dari perlakuan thimin menghasilkan "pengenal"
pada kedua pasang kromosom dipermukaan film. Menariknya, kromosom yang
dipersiapkan dari tanaman yang telah dipindahkan ke media tanpa thimin isotop
yang sebelumnya diperlakukan dengan radioisotop, terdapat kromosom yang satu
dari pasangannya tidak ditemui pengenal (kecuali di daerah pindah-silang).
Eksperimen ini membuktikan bahwa Sintesis DNA berselaras dengan replikasi DNA
dan bersifat linear terhadap struktur kromosom, dan terjadi sekali untuk setiap
kali pembelahan sel.
Sifat memperbanyak diri secara vegetatif demikian tidak hanya dimiliki oleh
bahan genetik dalam kromosom. DNA sirkuler yang disebut plasmid atau DNA
batangan pada virus berkemampuan memperbanyak diri dengan cara mengkopi molekul
DNA tunggal menjadi sepasang ikatan DNA ganda. Proses mengkopi diri sendiri
dari polimer DNA menjadi jiplakan-jiplakan DNA identik disebut replikasi DNA.
Replikasi DNA
Selang beberapa saat setelah publikasi Crick
dan Watson mengenai struktur rantai ganda DNA, mereka kemudian mengemukakan
implikasi struktur rantai ganda ini kepada mekanisme cetak-kopi informasi. Baik
penelitian E. Chargaff dan Herbert Taylor membuktikan bahwa DNA bereplikasi
semikoservatif. Artinya bahwa dalam sintesis DNA, dengan bahan awal DNA yang
mampu memperbanyak diri, replicon, seperti plasmids dan kromosom, setiap
rantai tunggal DNA berfungsi sebagai cetakan bagi sintesis rantai DNA baru
pasangannya.
Pertanyaannya ialah, “bagaimana mekanisme
biosintesis DNA sesungguhnya terjadi di dalam sel?” Arthur Kornberg
menjawab pertanyaan ini dengan mendekatinya melalui pendekatan ensimatik. Ia
berpendapat: "replikasi rantai nukleotida pasti dikatalisis oleh suatu
enzim". Atas dasar pandangan tersebut, ia berusaha mengisolasi enzim yang
bertanggungjawab pada biosintesis DNA dan mempelajari mekanisme aksi ensimnya.
Ia membuat ekstrak protein dari bakteri E.
coli dan menambahkannya ke dalam suatu campuran reaksi dengan sejumlah
komponen berikut: deoksinukleosida trifosfat dimana atom P dan C-nya
menggunakan 32P atau 14C dan deoksinukleosidanya
mengandung keempat basa nitrogen A, T, G, C; Mg++, serta DNA sebagai
cetakan. Dengan campuran ini dalam tabung reaksi, diharapkan akan
terbentuk polinukleotida dengan berat molekul yang lebih tinggi.
Usahanya berhasil, dan bukti-bukti
menunjukkan bahwa bahwa polimerisasi dimaksud menunjuk kepada biosintesis DNA.
Ia mendemonstrasikan bahwa polimerisasi DNA hanya dapat berhasil jika keempat
deoksinukleosida trifosfat dan cetakan ada dalam komponen reaksi. Selanjutnya,
dengan adanya alat uji (bioassay) aktifitas enzim yang mensintesis DNA,
memungkinkan diisolasinya enzim yang bertanggung-jawab pada reaksi tersebut.
Kornberg menamai enzim tersebut DNA polimerase.
Reaksi kimia yang dipercepat oleh DNA
polimerase adalah mensintesis polinukleotida sambil melepaskan satu molekul
pirofosfat (P-P) untuk setiap penambahan satu nukleosida trifosfat ke dalam
rantai baru. Bukti yang paling kuat mendukung bahwa reaksi in vitro
dipercepat oleh DNA polimerase bukan sekedar polimerisasi acak nukleotida,
tetapi terlibat dalam replikasi DNA, adalah bahwa DNA cetakan yang ditambahkan
ke dalam campuran reaksi tidak hanya diperlukan agar polimerisasi berlangsung,
tetapi juga sebenarnya menentukan ciri dari polinukleotida yang di bentuk.
Melalui analisis komposisi basa nukleotida
yang terbentuk setelah reaksi enzimatis dari berbagai macam DNA cetakan, Arthur
Kornberg berhasil menunjukan bahwa DNA yang disintesis mengikuti ciri komposisi
basa cetakan DNA-nya. Penelitian lanjut membuktikan bahwa DNA cetakan
mengarahkan tidak hanya komposisi keseluruhan basa yang terbentuk, tetapi
frekuensi relatif dari basa-basa yang terbentuk.
Berdasarkan studi sintesis DNA secara in
vitro, dapat dikatakan bahwa DNA bertindak langsung sebagai cetakan dalam
proses kopolimerisasi teratur replika-replika yang terbentuk tanpa membutuhkan
sintesis senyawa antara bukan DNA. Dalam perkembangan studi biokimia, kemudian
dapat dirancang bangunan yang lebih detil replikasi DNA, serta berbagai enzim
yang terlibat.
Mekanisme pembelahan sel
Pertanyaan lanjut ialah, bagaimana
sesungguhnya sel menggandakan DNA nya sendiri dan kemudian mendistribusikannya
secara meraka kepada sel turunannya secara sama? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, sel berhadapan dengan persoalan koordinasi antar
bagian dan proses, yaitu bahwa karena replikasi DNA hanya berlangsung sekali
untuk setiap sekali pembelahan sel, replikasi DNA harus terpadu dengan
pembelahan sel. Replikasi DNA harus mendahului pembelahan sel agar sebelum
pembelahan sel berlangsung, telah tersedia bahan genetik untuk diagihkan kepada
masing-masing sel turunan.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka replikasi DNA merupakan bagian
keseluruhan dari pembelahan sel, dan merupakan proses awal bagi sel berkomitmen
meneruskan proses pembelahan sel. Sekali pembelahan sel diawali ia tidak bisa
kembali lagi ketahap semula, dan harus menyelesaikan proses sintesis DNA
sebelum pembelahan sel berlangsung. Pembelahan sel tidak boleh terjadi jika
replikasi DNA belum selesai. Di dalam kenyataannya, selesainya proses replikasi
merupakan pemicu bagi terjadinya pembelahan sel. Jika aturan ini dilanggar,
maka transmisi informasi akan mengalami kegalauan.
Pada prokarion, replikasi DNA berawal di suatu tempat yang amung yang disebut
daerah “pengawalan” (origin). Sebaliknya pada eukarion, replikasi DNA
dimulai di awal fase S, yaitu fase yang memiliki periode yang panjang dalam
pembelahan sel, yang dalam periode tersebut sintesis DNA berlangsung, bahkan
berlangsung di banyak titik-titik pengawalan di dalam genom.
0 Response to "MATERI III : REPLIKASI DNA DAN PEWARISAN SIFAT"
Posting Komentar