DAKWAH ISLAM PEMIKIRAN,
POLITIK, DAN TANPA KEKERASAN
Pendahuluan
Islam adalah agama sempurna. Kesempurnaannya sebagai sebuah sIstem hidup dan sistem hukum meliputi segala perkara yang dihadapi oleh umat manusia. Firman Allah Swt:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..” (TQS. An-Nahl [16]: 89)
Ini berarti, perkara apapun ada hukumnya, dan problematika apa saja, atau apapun tantangan yang dihadapi kaum Muslim, akan dapat dipecahkan dan dijawab oleh Dinul Islam.
Keharusan mengikuti syariat Islam, terutama jejak langkah yang pernah ditempuh oleh Rasulullah saw, telah ditegaskan oleh firman Allah Swt:
“Katakanlah, 'Inilah jalan (dakwah)-ku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada (agama) Allah dengan hujjah (bukti) yang nyata..” (TQS. Yusuf [12]: 108)
Ayat ini menunjukkan bahwa jalan Rasulullah saw telah benar-benar tegas dan nyata. Masalahnya tinggal, apakah kita hendak mengikuti jalan beliau saw atau tidak.
Oleh karena itu, sumber sekaligus tolok ukur untuk menentukan jalan yang ditempuh guna membangkitkan umat, menyadarkan umat, mendidik umat, menerapkan sistem hukum Islam secara total, dan membangun Daulah Islamiyah adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Langkah-langkah Rasulullah saw merupakan penerapan dan penjelasan yang bersifat 'amaliy atas metoda yang harus ditempuh. Selain metoda yang dijalankan oleh Rasulullah saw adalah metoda batil dan tertolak. Tidak layak dijadikan tolok ukur dan dapat dipastikan hanya bermuara pada kegagalan.
Siapapun yang mengelaborasi sirah Rasul saw saat berjuang menegakkan Islam hingga berhasil di Madinah akan menemukan tiga karakter dakwah Islam yang wajib diikuti. Ketiga karakter tersebut adalah pemikiran (fikriyah), politis (siyâsiyah) dan tanpa kekerasan (lâ mâaddiyah). Rasulullah saw tidak menggunakan kekerasan apapun sejak diutus sebagai Rasul di Makkah hingga mendapatkkan kekuasaan di Madinah. Beliau saw membatasi diri pada pergolakan pemikiran (shirâ'ul fikriy) dan perjuangan politik (kifâh siyâsiy).
Membangun Masyarakat Islam
Tanpa Kekerasan
Sebagian kaum Muslim menganggap bahwa metoda untuk melakukan perubahan masyarakat dengan jalan membangun Daulah Islamiyah yang akan menerapkan sistem syariat Islam secara total, adalah dengan jalan kekerasan (fisik). Salah satu argumentasi yang dilontarkan adalah hadits dari 'Auf bin Malik al-Asyja'I yang berkata :
“Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:…Sebaliknya, seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan merekapun membenci kalian...' Kami bertanya, 'Ya Rasulullah, apakah kami harus mengangkat senjata (pedang) ketika hal itu terjadi?' Beliau bersabda, 'Tidak, selama mereka menegakkan shalat.” (HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan menegakkan shalat adalah menerapkan sistem hukum Islam. Menunjuk argumentasi ini, mereka berpandangan bahwa tatkala seorang penguasa sudah tidak lagi peduli dengan penerapan sistem hukum Islam, malah diterapkan sistem hukum kufur –yang bertentangan dengan Islam-, maka dibolehkan mengangkat senjata (pedang) menghadapi penguasa tersebut.
Bila kita cermati, tahqiqul manath (fakta obyektif diterapkannya dalil tersebut) hadits diatas menyoroti penguasa (Khalifah) yang ada di dalam Dar al-Islam (Daulah Islamiyah), yang dibai'at sesuai dengan bai'at syar'iy. Daulah Islamiyah sendiri adalah institusi negara dan kepemimpinan umum kaum Muslim sedunia yang diperintah berdasarkan sistem hukum Islam, dan keamanannya berada sepenuhnya di tangan kaum Muslim. Apabila penguasa (Khalifah) melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum Allah dengan jalan mengabaikannya, atau malah memerintah kaum Muslim dengan hukum-hukum kufur, maka kaum Muslim dibolehkan untuk memeranginya (melakukan perubahan secara fisik). Pada kondisi semacam inilah hadits diatas diterapkan. Yaitu di dalam format Daulah Islamiyah yang sebelumnya telah menerapkan sistem hukum Islam, kemudian terjadi penyelewengan hukum-hukum Islam. Ini adalah tahqiqul manath dari hadits tersebut diatas.
Hal tersebut tidak berlaku di Dar al-Kufr, yaitu negara yang tidak menerapkan secara total syariat Islam sekalipun penduduknya muslim, dan/atau keamanannya tidak berada di tangan kaum Muslim. Penguasa di Dar al-Islam (Khalifah) tentu amat berbeda realitasnya dengan penguasa yang ada di Dar al-kufr. Para penguasa –meskipun mereka itu Muslim- yang ada saat ini adalah orang-orang yang tidak menjalankan sama sekali sistem hukum Islam, bahkan berpijak pada sistem hukum kufur. Mereka bukanlah Imam atau Khalifah bagi seluruh kaum Muslim sedunia. Bahkan mereka umumnya menolak institusi Khilafah atau Daulah Islamiyah. Keadaan semacam itu serupa dengan kondisi kota Makkah ketika Rasulullah saw dan para sahabatnya menjalankan dakwah, mendidik masyarakat, dan berupaya untuk menegakkan Daulah Islamiyah. Rasulullah saw saat itu hidup di Makkah yang merupakan Dar al-Kufur. Dan waktu itu Rasulullah saw bersama sahabatnya tidak menggunakan kekerasan/fisik dalam perjuangan mewujudkan syariat Islam di tengah-tengah kehidupan.
Tidak ada satu peristiwapun selama Rasulullah saw menjalankan aktivitas dakwahnya di kota Makkah yang dapat dijadikan argumentasi untuk membolehkan penggunaan metoda fisik/kekerasan dalam menerapkan syariat Islam melalui terbentuknya Daulah Islamiyah. Memang, dalam menghadapi tindakan keras orang-orang Quraisy, sempat muncul keinginan para sahabat untuk menggunakan kekerasan/senjata. Mereka memohon kepada Rasulullah saw. agar mengizinkan hal itu. Tapi Rasulullah saw. mencegah keinginan mereka seraya bersabda (lihat Ahmad Mahmud, Dakwah Islam, terj. 121):
“Aku diperintahkan untuk menjadi seorang pemaaf. Oleh karena itu, jangan memerangi kaum itu” (HR. Ibnu Abi Hatim, An Nasai, dan Al Hakim).
Bahkan ketika Rasulullah saw. telah mendapatkan baiat dari orang-orang Anshar di Aqobah dan mereka meminta izin kepada rasul untuk memerangi orang-orang Quraisy di Mina, beliau saw. menjawab: “'Kami belum diperintahkan untuk (aktivitas) itu, maka kembalilah kalian ke hewan-hewan tunggangan kalian. Dikatakan, 'Maka, kamipun kembali ke peraduan kami, lalu tidur hingga tiba waktu subuh.” (Sirah Ibnu Hisyam bi Syarhi al-Wazir al-Maghribi, jilid I/305)
Setelah beliau dan kaum Muslim hijrah ke kota Madinah, dan mendirikan peradaban baru disana, sekaligus membangun Daulah Islamiyah, Allah Swt mengizinkan dan memerintahkan kaum Muslim untuk melakukan berbagai aktivitas fisik (militer) untuk melawan kekuatan kufur maupun untuk membuka daerah-daerah kufur agar tunduk di bawah kekuasaan Daulah Islamiyah (Darul Islam). Firman Allah Swt:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.” (TQS. Al-Hajj [22]: 39)
Ayat ini diturunkan selepas beliau berhijrah ke Madinah dan menjadi kepala negara di sana, lalu beliau segera setelah itu mempersiapkan dan membangun kekuatan militer.
Disamping itu, realitas menunjukan bahwa perubahan di tengah-tengah masyarakat tidak bisa dilakukan dengan jalan menghancurkan sarana ataupun simbol-simbol kekufuran, kemaksiyatan dan kejahiliyahan secara fisik. Sebab, pemahaman, pemikiran, dan ideologi yang nyata-nyata sesat dan kufur, yang ada di dalam benak sebagian besar masyarakat tidak dapat dihancurkan dengan kekuatan fisik, melainkan dengan mengubah pemikiran, perasaan dan keyakinan masyarakat dengan Islam hingga terwujudlah kehendak masyarakat untuk mengubah sistem hidup bobrok yang tengah berlangsung digantikan dengan syariat Islam. Bila rakyat telah menghendakinya, dan opini umum untuk menerapkan syariat Islam telah terbentuk niscaya tidak ada yang dapat menghalanginya.
Dengan demikian, sebuah jamaah, partai politik Islam, harakah, dan sejenisnya tidak dibenarkan melakukan aktivitas fisik (kekerasan/militer) dalam upayanya untuk menegakkan Daulah Islamiyah yang akan menerapkan secara total seluruh sistem hukum Islam. Sebab, Rasulullah saw tidak mencontohkan hal tersebut.
0 Response to "DAKWAH ISLAM PEMIKIRAN, POLITIK, DAN TANPA KEKERASAN"
Posting Komentar