Pengunjung

 
Realitas Politik Dalam dan Luar Negeri Khilafah Ustmaniah Menjelang Keruntuhannya.

Politik dalam negeri di sini, maksudnya adalah penerapan hukum-hukum Islam oleh negara di dalam negeri, ketika negara menerapkan hukum-hukum Islam di dalam wilayah yang tunduk di bawah kekuasaannya; mengatur muamalah, menegakkan hudûd, menerapkan sanksi hukum, menjaga akhlak, menjamin pelaksanaan syiar-syiar dan ibadah, serta mengurus seluruh urusan rakyat sesuai dengan hukum-hukum Islam. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara yang telah dijelaskan oleh Islam.
Dalam hal ini, ada dua faktor utama yang menyebabkan kemunduran Khilafah Utsmaniah. Pertama, faktor buruknya pemahaman Islam. Kedua, faktor kesalahan dalam menerapkan Islam. Sebenarnya, buruknya pemahaman dan kesalahan dalam menerapkan Islam ini bisa diperbaiki ketika Khilafah Utsmaniah dipegang oleh orang yang kuat dengan keimanannya yang tinggi, namun sayangnya kesempatan ini tidak dimanfaatkan dengan baik. Sulaiman, yang dijuluki al-Qânûni, karena jasanya mengadopsi undang-undang (al-qânûn) sebagai sistem yang diterapkan dalam Khilafah Utsmaniah, yang ketika itu juga seorang khalifah yang sangat kuat, justru menyusun undang-undang berdasarkan mazhab tertentu, yaitu mazhab Hanafi, dengan kitab Multaqâ al-Abhur (Pertemuan Berbagai Lautan)-nya yang ditulis Ibrahim al-Halabi (w. 1549 M). Padahal, Khilafah Islam bukanlah negara mazhab. Dengan kata lain, semua mazhab Islam seharusnya mempunyai tempat di dalam negara dan bukan hanya satu mazhab. Dengan tidak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk melakukan perbaikan, pemahaman Islam yang buruk dan penerapan Islam yang salah selama ini tidak pernah diperbaiki. Sebagai contoh, dengan diadopsinya undang-undang oleh Sultan Sulaiman, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan khalifah bisa dihindari, namun justru kasus ini tampak tak tersentuh oleh undang-undang. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaiman al-Qanuni, yang diangkat menjadi khalifah justru orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan, atau lemah. Sebut saja kasus Sultan Musthafa I (1026 H/1617 M), Utsman II (1026-1031 H/1617-1621 M), Murad IV (1023-1049 H/1622-1640 M), Ibrahim bin Ahmad (1049-1058 H/1639-1648 M), Muhammad IV (1058-1099 H/1648-1687 M), Sulaiman II (1099-1102 H/1687-1690 M), Ahmad II (1102-1106 H/1690-1694 M), Musthafa II (1106-1115 H/1694-1702 M), Ahmad III (1115-1143 H/1703-1730 M), Mahmud I (1143-1167 H/1703-1727 M), Utsman III (1168-1171 H/1758-1761 M), Musthafa III (1171-1187 H/1757-1773 M), dan Abdul Hamid I (1187-1203 H/1773-1788 M). Inilah yang kemudian mendorong pihak militer, Inkisyâriyah—yang dibentuk oleh Sultan Ourkhan—kala itu melakukan kudeta; masing-masing pada tahun 1525, 1632, 1727 dan 1826 M. Akhirnya, Inkisyâriyah dibubarkan tahun 1241 H/1785 M. Di samping itu, kemajemukan rakyat, baik dari segi agama, etnik, maupun mazhab memerlukan penguasa yang kuat, baik secara intelektual maupun yang lain. Jadi wajar, tampilnya penguasa yang lemah ini pada akhirnya memicu terjadinya gerakan sparatisme, seperti yang dilakukan oleh kaum Druz yang dipimpin oleh Fakhruddin bin al-Ma‘ni.
Inilah yang juga menyebabkan politik luar negeri Khilafah Islam, yaitu dakwah dan jihad yang bertujuan untuk melakukan penaklukan, telah terhenti sejak abad ke-17 M. Berhentinya penaklukan ini juga menyebabkan jumlah pasukan Inkisyâriyah semakin membesar, melebihi pasukan dan pegawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara semakin merosot. Kenyataan ini menyebabkan ekonomi Khilafah Utsmaniah terpuruk, ditambah banyaknya praktik suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatan mereka untuk menumpuk kekayaan dan menjilat Sultan. Ditambah dengan menurunnya pendapatan pajak yang dipungut dari komoditas dari Timur Jauh yang melintasi wilayah Utsmaniah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga komoditas tersebut bisa diekspor langsung ke Eropa. Semua ini menyebabkan mata uang Utsmaniah tertekan, sementara sumber pendapatan negara, seperti bahan tambang, tidak mampu menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.
Pada paruh kedua abad ke-16 M, telah terjadi krisis moneter, ketika emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru (Amerika) melalui kolonial Spanyol. Mata uang Utsmaniah ketika itu benar-benar terpuruk; inflasi melambung. Mata uang Barah diluncurkan oleh Khilafah Utsmaniah pada tahun 1620 M tetap tidak berhasil menyelesaikan inflasi. Kemudian, dikeluarkan pula uang Qisry pada abad ke-17 M. Faktor-faktor ekonomi inilah yang menjadi sebab pasukan Utsmaniah di Yaman melakukan pemberontakan pada paruh kedua abad ke-16 M. Dengan kehidupan pejabat yang korup seperti itu, akhirnya negara harus menanggung utang sebesar 300 juta lira.
Dengan tidak dijalankannya politik luar negeri sesuai dengan hukum Islam, yaitu dakwah dan jihad, mafhûm jihad sebagai metode untuk mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak kaum Muslim, termasuk para khalifahnya. Ini terlihat dengan jelas pada tindakan Sultan Abdul Hamid Khan ketika meminta syaikh al-Azhar agar membacakan Shahîh al-Bukhâri di al-Azhar supaya Allah memenangkan Sultan atas Rusia dalam peperangan yang berlangsung pada bulan Rajab tahun 1203 H. Sultan kemudian meminta Pasha (Gubenur) di Mesir kala itu agar memilih sepuluh ulama dari berbagai mazhab untuk membaca Shahîh al-Bukhâri setiap hari.
Sementara itu, di luar negeri, sejak penaklukan Konstantinopel pada abad ke-15, Eropa-Kristen telah melihatnya sebagai awal dari masalah ketimuran (al-mas’alah as-syarqiyyah), hingga abad ke-16 M, saat terjadinya penaklukan sebagian besar wilayah Balkan, seperti Bosnia dan Albania, serta Yunani dan kepulauan Ionia. Masalah ketimuran inilah yang mendorong Paus Paulus V (1566-1572 M) menyatukan negeri-negeri Eropa yang sebelumnya terlibat dalam konflik antaragama, antara sesama Kristen, yaitu Protestan dan Katolik. Konflik ini baru bisa diakhiri setelah diselenggarakanya Konferensi Westavalia tahun 1667 M. Pada saat yang sama, penaklukan Khilafah Utsmaniah pada tahun-tahun tersebut telah terhenti. Memang, setelah kekalahan Khilafah Utsmaniah atas Eropa (Paus Paulus V, Spanyol, Hungaria dan Perancis) dalam Perang Lepanto tahun 1571 M, Khilafah nyaris hanya mempertahankan wilayahnya. Kelemahan Khilafah Utsmaniah pada abad ke-17 M itu juga dimanfaatkan oleh Austria dan Venesia untuk memukul Khilafah. Melalui Perjanjian Carlowitz (1699 M), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venesia dan Habsburg. Bahkan, Khilafah Utsmaniah terpaksa harus kehilangan wilayahnya di Eropa, setelah kekalahannya dengan Rusia dalam Perang Crimea pada abad ke-18 M, dan semakin tragis setelah dilakukannya Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887 M).
Menghadapi kemerosotan tersebut, Khilafah Utsmaniah sebenarnya telah melakukan reformasi (ishlâh) sejak abad ke-17 M, yang diteruskan pada abad-abad berikutnya. Namun, lemah pemahaman Islam justru telah menyebabkan reformasi ini gagal. Sebab, ketika itu para penguasa Khilafah Utsmaniah tidak bisa membedakan antara hadhârah dan madaniyah; antara sains/teknologi dan tsaqâfah. Kelemahan para penguasa ini dimanfaatkan untuk membentuk struktur baru dalam negara, yang ketika itu dikenal dengan shadr al-a‘zham (perdana menteri). Struktur seperti ini tidak dikenal dalam sejarah Khilafah Islam, kecuali setelah terpengaruh dengan tradisi demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh Khilafah Islam. Pada saat yang sama, para penguasa dan juga syaikh al-Islâm ketika itu mulai membuka diri terhadap demokrasi melalui fatwa-fatwa syaikh al-Islâm yang penuh kontroversi. Bahkan, dibentuknya Dewan Tanzimat tahun 1839 M semakin mengokohkan tsaqâfah Barat, setelah disusunnya beberapa undang-undang, seperti Undang-undang Acara Pidana (1840 M), dan Undang-undang Dagang (1850 M), ditambah dengan dirumuskannya Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha untuk membatasi fungsi dan kewenangan khalifah.
Di dalam negeri, ahli dzimmah—khususnya orang Kristen—yang mendapatkan hak istimewa pada zaman Sulaiman al-Qanuni, pada akhirnya menuntut persamaan hak dengan kaum Muslim. Bahkan, kemudian hak-hak istimewa inilah yang akhirnya dimanfaatkan untuk melindungi para provokator dan mata-mata asing dengan jaminan perjanjian. Masing-masing, antara Khilafah Utsmaniah dan Bizantium (1521 M) serta Prancis (1535 M) dan Inggeris (1580 M). Dengan hak-hak istimewa ini, populasi orang-orang Kristen dan Yahudi di dalam negeri meningkat. Inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kaum misionaris yang mulai melakukan gerakannya secara intensif di Dunia Islam sejak abad ke-16 M. Malta dipilih sebagai pusat gerakan mereka. Dari sanalah, mereka menyusup ke wilayah Syam pada tahun 1620 M, dan tinggal di sana hingga tahun 1773 M. Di tengah kemunduran intelektual yang dihadapi oleh Dunia Islam, mereka mendirikan berbagai pusat kajian, sebagai kedok gerakan mereka. Pusat-pusat kajian ini kebanyakan milik Inggeris, Prancis, dan Amerika. Gerakan inilah yang digunakan oleh Barat untuk mengemban intellectual leadership mereka di Dunia Islam, disertai dengan serangan-serangan mereka terhadap pemikiran Islam. Serangan ini memang sejak lama telah dipersiapkan oleh para Orientalis Barat, yang sejak abad ke-14 M telah mendirikan center of the Oriental Studies (pusat kajian ketimuran).
Jadi, gerakan misionaris dan orientalis itu jelas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasai dunia Islam, Islam—meminjam istilah Imam al-Ghazali—sebagai asas harus dihancurkan, dan Khilafah Islam sebagai penjaganya harus diruntuhkan. Untuk meraih tujuan yang pertama, serangan misionaris dan orientalis diarahkan untuk menyerang pemikiran Islam; sedangkan untuk meraih tujuan yang kedua, mereka sengaja menghembuskan paham nasionalisme, dan menciptakan stigma terhadap Khilafah Utsmaniah, dengan sebutan the Sick Man (orang yang sakit). Supaya kekuatan Khilafah Utsmaniah lumpuh, sehingga dengan mudah bisa dijatuhkan dengan sekali pukulan, maka dilakukan upaya intentif untuk memisahkan wilayah Arab dan wilayah lain dari Khilafah Utsmaniah. Dari sinilah, lahir gerakan-gerakan patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam. Bahkan, gerakan-gerakan keagamaan juga tak luput dari eksploitasi, seperti kasus Gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-18 M, gerakan ini telah dimanfaatkan oleh Inggris, melalui agennya, Ibn Sa‘ud, untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah Hijaz dan sekitarnya, yang sebelumnya tidak berhasil dilakukan oleh Inggris melalui gerakan kesukuan. Meskipun demikian, laju gerakan ini di beberapa wilayah akhirnya berhasil dibendung oleh Khilafah Utsmaniah melalui Muhammad Ali Pasha, Gubernur Mesir yang—ternyata juga agen Prancis—didukung oleh Prancis. Sementara itu, di wilayah Eropa, wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh Khilafah terus diprovokasi agar melakukan pemberontakan, sejak abad ke-19 M hingga abad ke-20, seperti kasus Serbia, Yunani, Bulgaria, Armenia dan terakhir Krisis Balkan. Begitulah, akhirnya Khilafah Utsmaniah kehilangan banyak wilayahnya, dan yang tersisa akhirnya hanya Turki.

0 Response to "Realitas Politik Dalam dan Luar Negeri Khilafah Ustmaniah Menjelang Keruntuhannya."

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Hostgator Coupon Code