Pengunjung

Pembungkaman Ekspresi Gen: siRNA

Diposkan oleh Unknown On 12.43
Pembungkaman Ekspresi Gen: siRNA





Pada tahun 1990, Van der Krol, dkk dari Departemen Genetika, Free University Amsterdam ingin meningkatkan pewarnaan bunga petunia menjadi ungu tua melalui ekspresi berlebihan gen-gen yang bertanggung jawab dalam biosintesis zat warna ungu. Mereka kemudian mentransformasi petunia dengan gen yang mengkode enzim-enzim yang bertanggung jawab dalam biosintesis flavonoid: dihydroflavonol-4-reductase (DFR) dan chalcone synthase (CHS). CHS mempercepat reaksi kondensasi 1 molekul 4-coumaroyl CoA dengan 3 molekul malonyl CoA membentuk struktur dasar flavonoids, sedangkan DFR bertanggungjawab mengkonversi flavonol yang tidak berwarna (colorless) ke berbagai ragam antosianin, menghasilkan berbagai ragam warna (tergantung struktur flavonolnya). Jika gen-gen ini tidak fungsional maka bunganya putih, sebaliknya jika fungsional maka bunganya ungu. Agar gen-gen tersebut terekspresi kuat, mereka dirancang berada dibawah kendali promotor konstitutif Cauliflower Mosaic Virus 35S (promotor CaMV 35S).



(Clik gambar untuk perbesar tampilan)



Hasil transformasi dengan gen DFR mengejutkan. Hipotesis bahwa ekspresi gen DFR pada transgenik petunia mengakibatkan peningkatan intensitas warna bunga tidak terbukti. Sebagian bunga tetap sama dengan tipe aslinya, bahkan sebaliknya, 24% dari transgenik warnanya berkurang atau hilang sama sekali. Pengukuran kadar flavonol pada bunga yang berkurang warnanya tidak menunjukkan adanya penurunan konsentrasi, yang menunjukkan bahwa penurunan warna tidak dikarenakan berkurangnya kadar flavonol (sebagai bahan awal sintesis zat warna antosianin) tetapi pada produksi antosianin yang tahapan reaksi enzimatiknya dipercepat oleh DFR. Justru pada pengukuran aras ekspresi gen (melalui percobaan hibridisasi Northern), intensitas warna bunga berkorelasi dengan hadir-tidaknya mRNA DFR. Pada jaringan bunga warna putih, bahkan, mRNA DFR (eksogen dan endogen) berkurang drastis. Hasil yang sama terjadi juga pada percobaan overexpresi gen menggunakan gen CHS yang dikontrol promotor CaMV 35S, yang penghambatannya terjadi pada tahapan reaksi enzimatik CHS, dibuktikan dengan terakumulasinya coumaric acid, prekursor pembentukan flavonoid.

Experimen di atas membuktikan bahwa penambahan jumlah copy gen (transgen) DFR dan CHS justru menyebabkan penghambatan fungsi gen pada sebagian transgenik, melalui penghambatan RNA sense. Dalam eksperimen yang sama, Napoli, et al., (1990) melakukan progeny test dari terhambatnya warna akibat transgen CHS. Ternyata, hanya pada turunan yang mengandung transgen CHS yang warna bunganya menurun bahkan hilang. Pada turunan yang tidak mengandung CHS transgen memiliki fenotip yang sama dengan tipe asli (wild type), ungu. Hal ini memperkuat dugaan bahwa kehadiran transgen menyebabkan penghambatan fungsi CHS. Gejalah ini disebut mereka kosupresi. Selanjutnya, dalam beberapa kasus, terdapat transgenik yang warna bunganya kembali ke warna ungu dari warna putih. Hal ini memberi dugaan bahwa perubahan warna menjadi putih disebabkan oleh kemungkinan besar asam nukleat RNA, sebab gejalah yang ada tidak bersifat permanen.

Gejalah kosupresi yang dilaporkan pada tumbuhan tersebut ternyata mirip dengan gejalah-gejalah dari suatu fenomena yang lebih general, yaitu Homology-Dependent Gene Silencing, yang terdapat pada berbagai ragam organisme, paling tidak pada: Ascobolus immersus (Goyon dan Faugeron, 1989), fungi filamentus (Neurospora crassa; yang disebut quelling; Romano dan Macino,1992), Caenorhabditis elegans (Fire et al., 1991; Guo, et al., 1995; Dernburg et al., 2000), jagung (Patterson, et al., 1993), berbagai serangan virus RNA pada tumbuhan (Lindbo, et al., 1993; Smith, et al., 1994; Kumagai et al., 1995; Angel dan Baulcombe, 1997; Anandalakshmi et al., 1998), Drosophila (Pal-Bhadra et al., 1997; Jensen et al., 1999), Paramaecium (Ruiz et al., 1998), dan Trypanosoma brucei (Ngo, et al., 1998).

Sealur dengan penemuan di atas, ialah penemuan-penemuan kosupresi dan pembungkaman gen yang dipicu infeksi virus RNA pada tumbuhan. Pada serangan virus tumbuhan, sering terjadi proses pemulihan (recovery) sehabis serangan suatu patogen. Pada keluarga tanaman Nicotiana, yang diinokulasi tobacco mosaic tobamovirus (TMV) atau potato X potexvirus (PVX) yang membawa potongan asam nukleat homologi tanaman tembakau (atau virus yang mengandung potongan asam nukleat mirip suatu transgen) maka pada tahap awal, muncul gejalah serangan virus. Namun setelah serangan virus telah menyeluruh, pada daun-daun muda (di atas daun-daun yang terserang virus) nampak adaya pemulihan. Pada daun-daun ini RNA transgen atau RNA virus homologi berada dalam konsentrasi yang rendah bahkan tidak terdeteksi, bebas virus, dan resisten terhadap infeksi kedua, oleh virus yang sama dan bukan oleh virus berbedah. Respons yang sama nampak pada N. clevelandii diinokulasi dengan tomato black ring nepovirus (strain W22). Pada infeksi sekunder, RNA W22 tidak terdeteksi (melalui pembuktian Northern), sebaliknya tanaman yang tidak mengalami infeksi primer mengakumulasi RNA W22 pada infeksi sekunder. Pertanyaannya ialah, “apakah protein yang dikode oleh virus itu ataukah RNA yang menjadi target pembungkaman gen, sehingga muncul resistensi?”

Untuk menemukan jawaban yang benar dari kedua tesis tersebut, sekelompok peneliti yang dipimpin oleh David Baulcombe dari John Innes Centre di Norwich, UK, melakukan percobaan begini (Ratcliff et al., 1997): “Sejenis tembakau, Nicotiana clevelandii, yang telah mengalami pemulihan akibat infeksi primer virus tomato black ring nepovirus strain W22 diinfeksi ulang (sekunder) dengan vektor PVX yang membawa suatu potongan cDNA W22 (PVX.W22). Potongan cDNA W22 tidak meniadakan replikasi virus atau penyebarannya ke tanaman yang terinfeksi. Protein yang diperlukan oleh PVX.W22 untuk maksud replikasi dan penyebaran virus dalam tanaman sama dengan yang diperlukan oleh strain asli PVX. Jadi, jika pemulihan dari infeksi diarahkan pada protein-protein, maka akumulasi PVX.W22 tidak akan terpengaruh oleh infeksi sebelumnya, yaitu oleh W22. Sebaliknya, jika pemulihan diarahkan pada RNA PVX.W22 maka akumulasi virus PVX.W22 akan sangat dibatasi pada daun muda yang terpulihkan yang sebelumnya diinfeksi dengan W22.

Hasil penelitian Baulcombe dkk, sesuai harapan. Analisis Northern membuktikan bahwa akumulasi RNA PVX.W22 berada dibawah batas ambang yang dapat terdeteksi. Sebaliknya, pada kontrol, yaitu pada tanaman yang sebelumnya telah diinfeksi dengan W22 dan kemudian diinfeksi ulang dengan vektor yang tidak membawah RNA W22, mengakumulasi RNA. Hal ini berarti bahwa RNA merupakan target dari pemulihan tanaman, dan bersifat spesifik. Konsekuensinya ialah bahwa RNA merupakan target dari mekanisme pembungkaman RNA homologi, dan reaksinya bersifat spesifik terhadap konstruk yang membawa sisipan RNA dari W22.

Pertanyaannya ialah: “sintesis RNA atau pemercepatan degradasi DNA-kah penyebab terbungkamnya gen dalam fenomena kosupresi? Jika pembungkaman gen berlangsung pada tahapan pascatranskripsi maka promotor akan tetap aktif, gen ditranskripsi, tetapi mRNA gagal terakumulasi. Beberapa experimen pada tumbuhan membuktikan bahwa kosupresi berlangsung pada tahapan degradasi RNA, dan bukan pada terhentinya sintesis RNA (van Blockland et al., 1994; van Eldik et al., 1998; Metzlaff et al., 1997; Vaucheret et al., 1997; Waterhouse et al., 1998).

Pada binatang, pembuktian (RNAi) dengan hasil yang sama dilakulan oleh Montgomery et al., (1998). Dalam percobaan mereka, RNA rantai ganda diinjeksikan pada C. elegans, kemudian dilakukan pengamatan menggunakan teknik FISH terhadap mRNA di dalam inti sel dan di dalam sitoplasma. Hasilnya ialah bahwa di dalam inti sel, jumlah RNA-nya sangat menurun namun tidak hilang sama sekali. Sebaliknya, di dalam sitoplasma, RNA tidak terdeteksi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa RNAi berlangsung melalui degradasi mRNA target.

Lalu, “apa dan siapa penyebab kosupresi? Salah satu alternatif jawaban atas pertanyaan ini mulai terjawab berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Guo dan Kemphues (1995). Mereka, dalam penelitian yang menggunakan teknik antisense memperoleh hasil yang aneh. Teori dibalik teknik antisense sebenarnya sederhana. Jika kita menyuntikkan suatu organisme dengan urutan RNA yang memiliki pasangan komplementernya dengan RNA duta, keduanya akan saling mengancing seperti ritsleting, membentuk molekul RNA rantai ganda, dan menghambat produksi protein yang disandi oleh mRNA bersangkutan. Guo menggunakan teknik antisense untuk melumpuhkan gen yang bernama par-1, yang mengendalikan bentuk setangkup (symmetry) pada embrio C. elegans. Sebagai seorang peneliti, ia harus memiliki perlakukan kontrol, yaitu adanya perlakukan suntikan rantai sense, disamping rantai antisense. Keanehan (ya, aneh karena hasilnya diluar teori yang dipegang kuat selama ini) yang mereka dapati dari hasil penelitian mereka adalah bahwa pada perlakuan kontrol, yaitu perlakuan dengan suntikan RNA sense (berarti menambah jumlah kopy RNA yang sama di dalam sel), gen-nya justru tidak aktif. Hasil penelitian ini meningkatkan apresiasi dari peran RNA sense dalam pembungkaman gen.

Apa yang telah dicapai oleh Guo dan Kemphues secara kebetulan, dan apa yang telah dicapai oleh Baulcombe melalui pendekatan yang sistematis, mendapat apresiasi yang tinggi dari peneliti di Carnegie Institution of Washington (Fire et al., 1998). Hasilnya adalah teknologi RNAi, seperti yang kita akan bahas lebih lanjut.

Fire et al., menguji apakah kombinasi rantai RNA sense dan antisense, yang berarti menginjeksi RNA rantai ganda (dsRNA) ke dalam C. elegans, akan meningkatkan pengaruhnya pada inaktivasi gen. Hasilnya mengejutkan! Suntikan dengan kombinasi RNA sense dan RNA antisense membungkam aktifitas gen paling tidak 10 kali lebih efektif ketimbang pengaruh dari suntikan RNA sense antau RNA antisense saja. Pembungkaman tersebut tidak hanya terjadi pada sel-sel somatik, tetapi juga pada turunan pertamanya, dan bersifat sangat spesifik, sebab suntikan menggunakan dsRNA yang tidak ada hubungannya dengan gen tertentu tidak membungkam gen itu. Demikian pula suntikan dengan dsRNA exon memberi pengaruh, sebaliknya dengan intron tidak memberi pengaruh. Menariknya bahwa hanya diperlukan sedikit molekul dsRNA per sel untuk menimbulkan efek pembungkaman dibanding dengan kebutuhan RNA dalam teknik antisense, yang mengindikasikan adanya keterlibatan mekanisme katalitik atau amplifikasi.

Bukti keterlibatan dsRNA dalam membungkam gen target lalu menjamur: pada Drosophila, planaria, Trypanosome, Hydra, zebrafish, dan jaringan/sel T mamalia, fungi, kultur sel tumbuhan (Misquitta and Paterson, 1999; Sanchez-Alvarado and Newmark, 1999; Ngo et al., 1998; Lohmann et al., 1999; Wargelius, et al., 1999; Li et al., 2000; Elbashir et al., 2001; McManus et al., 2002; Paddison et al., 2002; Jacque et al., 2002; Liu et al., 2002; Raponi and Arndt, 2003; Vanitharani, et al., 2003), dan hampir pasti list ini masih akan berlanjut.

0 Response to "Pembungkaman Ekspresi Gen: siRNA"

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Hostgator Coupon Code