Pengunjung

Korupsi dan Karakter Bangsa

Diposkan oleh Unknown On 05.45

Korupsi dan Karakter Bangsa



Hari-hari terakhir ini mendung serasa menggantung di atas Blue House, kediaman resmi keluarga Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung di Seoul. Sabtu lalu (19 Mei 2002), polisi menangkap putra ketiga Presiden, Kim Hong-gul (39). Hong-gul menjadi tersangka kasus korupsi senilai 1,52 miliar won (sekitar Rp11 miliar). Ia langsung ditahan di sebuah sel kecil di penjara Seoul. Jika terbukti bersalah menerima suap dari Tiger Pools International (TPI), perusahaan penyelenggara judi resmi di Korea, Hong-gul akan menghadapi tuntutan hukuman lima tahun penjara.
Musibah tampaknya masih terus menghampiri keluarga Presiden Kim yang akan mengakhiri masa jabatannya pada Februari 2003. Putera keduanya, Kim Hong-up, juga menjadi tersangka kasus KKN yang lain. Kedua peristiwa ini merupakan tamparan hebat bagi Kim Dae-jung, mantan tokoh prodemokrasi yang bertekad memberantas korupsi di Korea begitu ia terpilih menjadi presiden pada akhir 1997. Sama seperti dilakukan Presiden Korsel sebelumnya Kim Young-sam, Kim Dae-jung juga telah meminta maaf secara terbuka kepada seluruh rakyat atas kasus memalukan itu.
Orang Jawa bilang, masih untung Republik Korea punya presiden seperti Kim Young-sam dan Kim Dae-jung. Komitmen mereka jelas dalam menegakkan hukum dan memerangi korupsi. Mereka tidak terpeleset menggunakan kekuasaannya sebagai presiden untuk menghalang-halangi aparat penegak hukum menyelidiki kasus KKN yang menimpa keluarga dekat mereka.
Musibah Serupa
Pada akhir masa jabatannya di tahun 1997, Presiden Kim Young-sam menghadapi musibah serupa. Waktu itu putera keduanya, Kim Hyun-chul, juga ditahan untuk kasus suap dan penggelapan pajak. Kasus ini sampai ke pengadilan. Hyun-chul dihukum tiga tahun penjara dan denda sekitar dua miliar won (Rp15 miliar).
Bagaimana dengan pejabat kita? Ternyata jauh panggang dari api. Baru-baru ini, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menyampaikan keluhan terbuka kepada publik. Menurut Bagir, meski sudah empat tahun menapaki era reformasi, masih banyak pejabat atau tokoh yang menghindari proses peradilan. Terutama mereka yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Bahkan, di antara mereka ada yang merasa lebih aman bersembunyi atau lari ke luar negeri.
Kesan kuat yang muncul, pemberantasan KKN di Indonesia seolah membentur tembok tebal. Tentu Anda masih ingat kegundahan senada pernah diungkapkan Presiden Megawati Soekarnoputri. Megawati gundah karena sebagian masyarakat semakin tipis budaya malunya.
Menarik, bahwa yang dimaksud dengan "sebagian masyarakat"itu, menurut Mega, juga termasuk para aparat penegak hukum, pemerintahan, anggota legislatif, pengusaha, selain masyarakat umum sendiri. Mereka dinilainya melakukan tindakan tidak terpuji, kehilangan budaya malu dan harga diri serta tidak mau mengakui kesalahannya. Termasuk dalam tindakan KKN.
Bagaimanapun, Bu Mega adalah Kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan. Dengan mengatakan begitu, Ibu Mega telah mengambil risiko seperti yang digambarkan dalam peribahasa, "memercik air di dulang, terpercik muka sendiri". Ini merupakan isu pokok, dan jika tidak terlihat penanganan secara serius, akan mengguncang kepercayaan masyarakat dan dunia internasional dalam hubungan mereka dengan pemerintahan yang dipimpin seorang presiden yang belum menunjukkan komitmen total dalam menjalankan kewajibannya membasmi KKN.
Menipis atau hampir hilangnya budaya malu dan sifat berani tanggung jawab dari dalam diri (sebagian?!) bangsa kita, menjadi salah satu ilustrasi penting kegagalan Indonesia membangun karakter bangsa. Founding fathers seperti Bung Karno dulu berulang kali meneriakkan perlunya mensinergikan nation and character building. Suatu negeri boleh hancur karena perang maupun krisis ekonomi dan politik yang datang silih berganti. Namun bangsa yang berkarakter selalu bisa bangkit dari puing-puing kehancuran semacam itu-sebagaimana dicontohkan Amerika yang mampu keluar dari depresi ekonomi di tahun '30-an, Jerman dan Jepang yang bangkit dari kekalahan Perang Dunia II, China yang melalui jalan terjal sampai Revolusi Kebudayaan, atau pun Korea (Selatan) yang keluar dari puing-puing perang saudara dan kini menjadi salah satu "macan"Asia.
Sifat Malu
Apakah orang Indonesia memang tipis sifat malu dan tanggung jawabnya? Lantaran tak punya malu dalam melakukan KKN, akibatnya negeri kita tetap dibayangi ketidakpastian masa depan. Kekayaan sumber daya alam, jumlah penduduk besar, letak strategis dan luas negara apakah itu semua masih cukup berarti untuk menghapus kabut yang menutupi masa depan Indonesia? Banyak yang diam-diam dihantui bayangan kebangkrutan Indonesia hanya tinggal menunggu waktu.
Benarkah jawabannya terletak pada perlunya kehadiran "orang kuat"untuk meretas belenggu KKN dan krisis multidimensi di Indonesia, seperti pernah dinyatakan Cak Nur (Nurcholish Madjid)? Mungkin ya, mungkin tidak. Karena dalam perjalanan sejarah bangsa kita pun, yang disebut "orang kuat", ternyata belum tentu kuat menghadapi godaan kekuasaan. Buktinya, empat presiden Indonesia sebelumnya meninggalkan kursi kekuasaannya dalam suasana "tidak enak". Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely, kata Lord Acton.
Trias politika yang kita jalani selama ini ternyata juga mandul dalam menciptakan tertib kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini lantaran mereka yang diberikan kepercayaan mengelola tiga sendi negara (eksekutif, judikatif, legislatif), justru merontokkan sendi-sendi itu sendiri dengan perilaku mereka yang tidak amanah. Esei ini sesungguhnya mengandaikan masih banyak warga negara yang berkarakter dan berniat baik untuk ikut menyelamatkan masa depan Indonesia. Bukan, bukan orang lain, tapi kita sendiri yang harus bersama-sama mencoba menghentikan langkah Indonesia menuju kehancurannya. Namun bagaimana caranya? Ini pertanyaan besar yang memerlukan jawaban bersama.
Kalau memang masih mungkin, satu hal yang bisa diupayakan bersama adalah menempatkan kembali pembangunan karakter bangsa sebagai bagian penting yang tidak boleh dilupakan. Wah, itu kan tidak praktis, jangka panjang, perlu waktu satu generasi untuk mengubah mentalitas dan karakter manusia Indonesia? Memang betul, tapi kalau tidak dimulai dari sekarang, kita akan terlambat. Tahu-tahu kita sudah berada di dasar jurang kehancuran bangsa ini.
Energi kolektif bangsa ini selayaknya diarahkan untuk menguasai wilayah, ruang publik (public sphere) dengan wacana pemulihan harga diri dan kedaulatan bangsa. Dengan membawa masuk masalah ini ke dalam ruang publik, kita memiliki peluang untuk membuat warga-bangsa bukan hanya merasa memiliki negeri ini, tapi juga mengembangkan kepatutan dalam kehidupannya sebagai warga-bangsa.
Harus ada upaya konstruktif melibatkan rakyat dalam menafsir ulang wacana negara-bangsa (nation-state) dan paham kebangsaan (nasionalisme), misalnya, dalam kerangka kepentingan pemulihan wibawa dan nama baik Indonesia yang sudah sampai ke titik nol. Sebab di mana-mana pun wacana negara-bangsa pasca-kolonialisme selalu membutuhkan redefinisi dan tafsiran baru. Misalnya, dengan mengaitkan paham kebangsaan dengan kebanggaan mengembangkan budaya malu dan sikap bertanggung jawab dalam kode-kode sosial yang disepakati bersama.
Sudahlah, intinya, jangan sampai bangsa kita keterusan menjadi bangsa berani malu dan berani korupsi. Bukan bangsa yang berani bertanggung jawab membangun hidup dan masa depannya sendiri.
Penulis adalah cerpenis dan pemerhati masalah sosial budaya, tinggal di Busan, Korsel.

Presiden Korsel Minta Maaf atas Skandal Kedua Putranya


Senin, 24 Juni 2002 [kompas.com]
EFORIA pesta Piala Dunia 2002 ternyata tidak membuat Korea Selatan melalaikan berbagai agenda penting negara. Ingar- bingar Piala Dunia sama sekali tidak mendesak ke belakang sejumlah persoalan penting negara.

Upaya membongkar kasus korupsi misalnya terus dilancarkan, meski seluruh perhatian semakin jauh larut dalam Piala Dunia. Apalagi kesebelasan Korea Selatan (Korsel) terus maju ke babak semifinal.
Emosi terus tertumpah pada pertandingan bola karena mulai memasuki hari-hari paling menegangkan dan menentukan kesebelasan mana yang akan keluar sebagai juara dunia. Di atas kertas, Korsel sendiri mempunyai peluang pula.
MESKI seluruh emosi semakin larut dalam pertandingan bola, tapi upaya membongkar korupsi tidak dilupakan. Seperti diberitakan, Kim Hong-up, putra nomor dua Presiden Kim Dae-jung, ditangkap dan ditahan akhir pekan lalu atas tuduhan korupsi.
Hong-up dimasukkan ke dalam penjara di pinggiran Ibu Kota Seoul, tempat adiknya, Kim Hong-gul, ditahan sejak satu bulan lalu. Hong-gul dan Hong-up ditahan atas tuduhan menerima suap dari kalangan pengusaha ketika kampanye pemilihan presiden tahun 1997.
Tanpa sepengetahuan ayah mereka, kasus menerima suap berlanjut setelah Kim berkuasa tahun 1998. Hong-up (53 tahun) dan Hong-gul (38 tahun) menerima suap milyaran won karena menjadi perantara dalam transaksi bisnis. Hong-up dan Hong-gul membantah tuduhan korupsi. Tetapi, pengadilan tetap menangkap dan menahan kedua putra presiden itu untuk memudahkan penyelidikan.
KASUS penangkapan dan penahanan Hong-up dan Hong-gul masih menimbulkan silang pendapat, terutama yang menyangkut dana yang diterima pada masa kampanye presiden tahun 1997. Ada yang berpendapat, uang yang diterima Hong-up dan Hong-gul sebelum Kim terpilih menjadi presiden, tidak termasuk kategori korupsi.
Uang diberikan pengusaha karena mendukung agenda politik Kim Dae-jung. Dilihat dari urutan waktunya, kedua putra Kim menerima uang bukan karena memanfaatkan kekuasaan ayahnya. Posisi ayahnya belum jelas ketika kampanye berlangsung. Juga ketika Kim terpilih dan berkuasa, praktik kolusi dan korupsi tidak
dilakukannya.

Akan tetapi, rupanya Hong-up dan Hong-gul dijerat oleh undang-undang politik yang menuntut transparansi sumber dana kampanye. UU juga membatasi jumlah bantuan uang yang bersifat pribadi dan perusahaan. Pembatasan itu penting untuk mencegah tentang kemungkinan kolusi setelah seseorang calon presiden berkuasa.
Sekiranya bukan Kim Dae-jung yang terpilih, mungkin saja tokoh yang berkuasa akan tergoda melakukan kolusi untuk balas jasa. Umumnya setiap pengusaha mengeluarkan uang politik karena mempunyai pamrih. Para pengusaha memberikan uang tentu atas spekulasi, Kim akan memenangkan pemilihan.
NAMUN, apa pun alasannya, penangkapan dan penahanan itu termasuk peristiwa dramatis karena menyangkut keluarga istana. Presiden Kim dan keluarga jelas sangat terpukul, merasa gagal mendidik anak-anaknya. Tetapi, sungguh simpatik ketika Presiden Kim mendudukkan kepala dalam-dalam, meminta maaf kepada seluruh bangsa Korsel.
Sama sekali tidak kelihatan upaya untuk menutup-nutupi dan mencampuri proses hukum terhadap kasus putranya. Presiden Kim bisa saja melakukan hal itu, tapi rasa bersalah dan budaya malu membuatnya langsung meminta maaf lewat televisi hanya beberapa menit setelah putranya ditahan hari Jumat lalu.
Di depan televisi, Kim (76 tahun) menyatakan, "Saya berdiri di depan bangsa malam ini. Rasanya tidak bisa mengangkat kepala karena malu. Saya malu dan merasa bersalah karena tidak mampu mengawasi putra-putra saya secara tepat."
SEKALI lagi, rasa bersalah dan budaya malu membuat Presiden Kim membiarkan anaknya ditahan dan meminta maaf kepada bangsanya. Secara psikologis, kenyataan ini sungguh pukulan berat. Presiden Kim dan keluarga pun tidak dapat menikmati sepenuhnya kegembiraan atas penampilan mengesankan kesebelasan Korsel di Piala Dunia.
Citra dan popularitas Kim yang kini berusia 77 tahun merosot.
Padahal era kepemimpinan Kim yang akan segera berakhir dinilai sukses memulihkan perekonomian Korsel dari krisis, dan sekaligus berjasa dalam mendorong rekonsiliasi dan reunifikasi dengan Korea Utara.
Secara konstitusional, Kim tidak bisa lagi bertarung untuk periode kekuasaan kedua. Ketika mulai berkuasa, Kim langsung menyatakan tekad untuk membersihkan birokrasi Korsel dari korupsi. Tekad Kim itu membawa banyak hasil, tapi kini dirusak oleh perilaku kedua putranya.
PENANGKAPAN kedua putranya, betapa pun menyakitkan dan memalukan, semakin memperkuat upaya pembersihan korupsi di Korsel. Tindakan pembersihan korupsi tidak pandang bulu. Dalam dasawarsa lalu, mantan Presiden Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo dijatuhi hukuman sangat berat atas tuduhan korupsi dan melanggar hak asasi manusia.
Tanpa diminta, keduanya mengaku bersalah di depan umum dan menyatakan bertobat. Hasil korupsi dikembalikan ke negara.
Kedua mantan presiden itu dibebaskan karena mendapat amnesti.
Meski Presiden Kim Dae-jung tidak terlibat, skandal korupsi kedua anaknya telah merusak citranya. Kekuatan oposisi memanfaatkan heboh skandal korupsi Hong-gul dan Hong-up untuk mendiskreditkan Partai Demokratik Milenium (PDM) menjelang pemilihan presiden Desember mendatang.
Tekanan berat terhadap PDM sudah berlangsung pekan lalu ketika kalah telak dalam pemilihan lokal. Sekjen PDM Kim Won-gil pun mengajukan pengunduran diri. Implikasi politik atas skandal korupsi kedua putra Presiden Kim tidaklah kecil. Komitmen melawan korupsi pun diperteguh.

Anak Presiden Korsel Ditangkap
Minggu, 19 Mei 2002 [kompas.com]
Seoul, Sabtu - Anak termuda Presiden Korea Selatan (Korsel) Kim Dae-jung, hari Sabtu (18/5), ditangkap dan dijebloskan dalam tahanan penjara Seoul, atas tuduhan korupsi. Demikian menurut pihak Kejaksaan Korea serta sejumlah saksi mata.
Televisi pemerintah, KBS TV, hari Sabtu itu menayangkan gambar Kim Hong-gul-anak ketiga Kim Dae-jung-digiring oleh dua pejabat kejaksaan ke dalam sebuah mobil penumpang. Mobil itu kemudian meluncur ke penjara Seoul.
"Saya minta maaf karena telah menyusahkan banyak orang," ungkap Kim Hong-gul, ketika ia dicegat kamerawan televisi serta para wartawan yang menunggunya di lobi Kantor Kejaksaan Distrik Seoul, Sabtu.
Hong-gul dituduh telah menerima uang tunai dan saham senilai 1,5 milyar won atau senilai Rp 12 milyar, suap dari sebuah perusahaan perjudian.
Anak termuda dari tiga anak Presiden Korsel ini kemungkinan akan mendekam di sebuah kamar penjara seluas 3,3 meter persegi di penjara selatan Seoul, sambil menunggu kasusnya disidangkan.
Saham TPI
Anak Kim berusia 38 tahun ini juga dituduh menerima saham sebuah perusahaan bernama Tiger Pools International (TPI) dan afiliasinya pada bulan Agustus tahun 2000, empat bulan sebelum TPI memenangi lisensi sebagai perusahaan judi legal pertama Korea Selatan.
Direktur TPI Song Jae-bin juga telah ditangkap dan ditahan karena tuduhan memberi uang suap senilai 800 juta won. Juga ditangkap, Choi Kyu-sun, teman anak Presiden Kim yang dituduh membawa uang suap kepada anak presiden tersebut.
Hong-gul terus terang mengakui, ia menerima uang dari TPI, tetapi membantah keterlibatannya dalam upaya lobi TPI. Choi temannya, menurut Hong-gul, tak menyebutkan secara khusus, akan mendapat imbalan apa atas uang yang diberikan padanya tersebut.
Apabila terbukti bersalah, maka Hong-gul terancam hukuman penjara lima tahun. Sementara, anak kedua Kim, Kim Hong-up, juga akan ditangkap dalam waktu dekat, untuk kasus skandal yang berbeda.
Penangkapan kedua anak Kim ini merupakan tamparan hebat bagi sang ayah, yang terpilih sebagai Presiden Korsel pada tahun 1998, dengan janji akan memberantas korupsi yang mulai merajalela di Korea Selatan. (AP/AFP/Reuters/SHA)

0 Response to "Korupsi dan Karakter Bangsa"

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Hostgator Coupon Code